Dimuat di Media Jatim pada 8 Agustus 2017
Mencintai sesuatu secara berlebihan tanpa disertai ilmu pengetahuan, akan menjadikan seseorang lupa segala hal. Perhatian akan senantiasa tertuju pada satu titik, yang dicintainya. Ia akan rela melakukan apa saja demi menggapai cintanya. Akan rela mengorbankan segalanya, demi memenuhi nafsu cintanya. Apalagi, jika yang dicintainya tersebut adalah dunia. Harta dan tahta misalnya. Terlalau mencintai dunia akan membuat seseorang lupa pada kehidupan yang lebih kekal nanti, akhirat. ia akan disibukkan untuk selalu memenuhi keinginan dunianya.
Dalam Islam, tergila-gila pada dunia tentu sangat tidak diperbolehkan. Bahkan, umat manusia dianjurkan untuk snantiasa bersikap zuhud terhadap dunia. Artinya dunia hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup semata. Tidak sampai pada tingkat mencintai dan ingin selalu memiliki harta dunia sebanyak-banyaknya.
Terkait dengan zuhud, manusia yang hidup di zaman modern seperti sekarang ini sangat jarang untuk bersikap zuhud pada dunia. Sebab, dunia dan seisinya yang begitu menarik perhatian ini terkadang menggoyahkan iman mereka untuk tidak memilikinya. Bahkan sampai-sampai manusia rela melakukan apa saja demi memenuhi hawa nafsunya terhadap dunia.
Kita seyogyanya patut berintospeksi diri terhadap tindak-tanduk sehari-hari kita. Tentang bagaimana kita bersikap terhadap teman yang sedang butuh bantuan. Tentang bagaimana kita memposisikan diri sebagai hamba Allah yang seharusnya selalu mengerjakan titah dan menjauhi larangan-Nya. Tentang bagaimana kita dalam memperlakukan makhluk lain yang tidak mempunyai daya lebih daripada kita. Apakah kita hanya akan berlaku semena-mena seenak perut selama mempunyai kekuatan dan kekuasaan?
Nah, buku rakitan Muhammad Khalid Tsabit ini mungkin menjadi salah satu alternatif cara untuk melakukan introspeksi. Buku yang merupakan kumpulan kisah para auliya (kekasih Allah) ini berisi tentang kejadian-kejadian menggetarkan yang pernah dialami oleh mereka. Pada halaman pertama buku ini, kita akan disuguhi kisah Hatim al-Ashamm (Hatim “Si Tuli”) yang mana julukan al-Ashamm ini disandang karena terjadi suatu peristiwa indah yang mengharukan (raqiqah jamilah).
Kala itu, Hatim sedang mengajar di ma jelisnya. Seorang perempuan datang mnemuinya untuk bertanya. Di tengah percakapannya dengan Hatim, tiba-tiba bunyi keras kentut keluar darinya. Merahlah muka perempuan itu karena malu yang tak tertangguhkan. (hal. 22)
Dan inilah sikap sang auliya untuk menutupi rasa malu si perempuan. Hatim malah memegang kedua telinganya sembari berkata: “Keraskan suaramu, aku tak dapat mendengar ucapanmu! Tolong keraskan ucapanmu!”
Mendengar pernyataan Hatim, si perempuan kemudian kembali normal seperti sedia kala. Karena dia mengira kalau Hatim memang tidak mendengar suara kentut yang begitu kerasnya tersebut. Betapa luhur budi pekerti Hatim demi menjaga perasaan si perempuan. Hingga kemudian Hatim terkenal dengan julukan al-Ashamm seperti yang kita kenal sekarang.
Adapun cara penulisan kisah auliya yang dikelompokkan secara tematik sangat memudahkan pembaca untuk mengetahui makna yang tersirat dari kisah yang sedang dibaca. Seperti kisah para kekasih Allah tentang kezuhudan beliau. Yaitu kisah dari Abu al-Abbas al-Munaji yang hanya mencari seikat kayu bakar setiap hari dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga, dan para muridnya.
Suatu ketika saat Abu al-Abbas mencari kayu bakar seperti biasa, tiba-tida datang seorang laki-laki menemuinya dan bermaksud untuk memberikan sekantong uang. Si laki-laki tersebut memaksa Abu al-Abbas untuk menerima uang tersebut meskipun sudah berkali-kali Abu al-Abbas menolaknya. Kemudian Abu al-Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah menjaga para kekasihnya dari dunia. Dan Allah telah mencukupkanku dengan seikat kayu bakar di atas kepalaku ini. salah seorang hamba Allah bisa saja berkata kepada seikat kayu bakar ini, jadilah kamu emas! Dan ia pun akan menjadi emas.” (hal. 72). Benar saja, seikat kayu bakar yang dikumpulkan Abu al-Abbas seketika itu juga berubah menjadi emas berkilauu. Padahal Abu al-Abbas tidak benar-benar bermaksud untuk merubahnya.
Melalui satu kisah Abu al-Abbas ini, dapat kita pahami bahwa sebenarnya harta dunia memang tidak berguna jika berlebihan. Apalagi sampai kita tergila-gila padanya. Mayoritas manusia terkadang selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya. Jika sudah mempunyai tempat tinggal yang bagus, maka akan berusaha untuk bisa mendapatkan mobil. Apabila sudah mendapatkan keduanya, maka tetap akan merasa kurang. Menambah koleksi mobilnya misalkan. Sama sekali akan sulit merasa cukup terhadap hak miliknya. Padahal Allah telah mencukupkan sesuatu yang kita miliki sesuai dengan kebutuhan kita.
Oleh sebab itu, meneladani kisah-kisah para auliya tentu menjadi suatu keharusan bagi kita untuk tahu bagaimana kita bersikap terhadap dunia yang fana ini. Mengidolakan mereka tentu lebih baik pula berguna daripada mengidolakan orang-orang yang tidak jelas kelakuannya. Karena hal itu akan berdampak terhadap keimanan kita kepada Allah. Pun kecintaan kita terhadap-Nya dan sesuatu yang telah dititahkannya akan bertambah.
Adapun membaca kisah-kisah tentang kasih para kekasih Allah yang tertuang dalam buku ini menjadikan kita sadar tentang posisi kita sebagai hamba Allah. Mengingat tentang betapa ikhlas mereka dalam beribadah, bershadaqah, memperlakukan makhluk Allah dengan begitu baiknya, sama halnya dengan memberikan peringatan bagi diri penulis sendiri, betapa masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki dan disempurnakan. Betapa mereka dalam melakukan suatu kebajikan semata disandarkan keikhlasan hanya karena Allah semata. Hanya karena mencintai-Nya. Sungguh tak satupun kisah dalam buku ini yang pernah penulis lakukan dengan begitu sempurnanya. Selamat membaca dan selamat berintrospeksi diri!
Guluk-guluk, 06 Nopember 2016
DATA BUKU
Judul: Qisasul Auliya (Kisah Para Kekasih Allah); Rampai Teladan-Kehidupan yang Menggetarkan Hati
Penyusun: Muhammad Khalid Tsabit
Penerbit: Qaf Media Kreativa
Terbitan: Cetakan I, 2016
Tebal Buku: 347 halaman
ISBN: 978-602-73761-7-5