Pesan-pesan di Balik Ritual Haji dan Idul Adha

Dimuat di NU Online pada Jumat, 01 September 2017

Sepuluh Dzulhijjah termasuk salah satu hari yang dimuliakan dalam agama Islam. Di antara bentuk penghormatan tersebut adalah pada hari itu umumnya umat Muslim berbondong-bondong menuju masjid atau tempat ibadah untuk bersama-sama mengagungkan Allah dengan cara membaca takbir, yang kemudian biasanya dilanjutkan dengan menyembelih hewan-hewan kurban. Di kalender Indonesia, pada tanggal 10 Dzulhijjah ada warna merah yang berarti hari libur: libur dari segala “kegiatan”, termasuk urusan keduniaan dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat, sehingga bisa memfokuskan diri untuk lebih dekat kepada Allah. Masih banyak bentuk penghormatan lain dari setiap Muslim yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Buku “Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi” merupakan salah satu rujukan tentang pesan hikmah di balik ritual haji dan Idul Adha. Pada mulanya, hari yang juga disebut dengan Idul Adha ini dirayakan oleh kaum Muslimin yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, sebagai puncak dari seluruh prosesi ibadah yang agung tersebut. Di mana pada hari itu, jemaah haji disunnahkan menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada para fakir miskin (halaman 150), sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ketika menunaikan ibadah haji.

Meskipun demikian, perayaan Idul Adha tidak hanya dikhususkan kepada mereka yang sedang menunaikan ibadah haji, umat Islam secara keseluruhan juga dianjurkan untuk merayakan hari raya kurban tersebut, dengan harapan mereka juga bisa memahami dan menghayati pesan-pesan yang tersirat dalam prosesi ibadah haji tersebut.

Dalam buku ini dijelaskan beberapa pesan yang terkandung dalam lima kegiatan ibadah haji, dimulai dari pertama, tawaf: mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Hal ini menjadi simbol dari perjuangan manusia untuk menuju satu titik fokus dengan cara menyatukan pikiran dan hati, sehingga pasrah sepenuhnya menuju satu titik dari mana mereka berasal dan ke mana mereka akan kembali.

Kedua, sa’i, berlari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah, sebagaimana dilakukan oleh istri Nabi Ibrahim dalam mencari air untuk sang anak tercinta yang baru dilahirkan, Nabi Ismail. Pelajaran berharga dari kisah ini adalah Tuhan memilih seorang perempuan yang bernama Siti Hajar, beliau adalah perempuan berkulit hitam, seorang budak belian dan berkasta (kelas) rendah. Masyarakat sekitar sering meremehkan dan merendahkan beliau, seperti yang dikatakan oleh pemikir kontemporer progresif dan seorang Ideolog dari Iran, Ali Syari’ati, “… tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang yang kesepian, seorang korban seorang asing yang terbuang dan dibenci.” (halaman 158).

Melalui Siti Hajar, Tuhan menampakkan kepada kita semua bahwa manusia sungguh tak patut mencampakkan dan mendiskriminasi manusia lain hanya karena status sosial dan warna kulit. Selain itu, Tuhan memilih “tokoh” berjenis perempuan sebagai simbol bahwa tidak ada perbedaan antara antara laki-laki dan perempuan, Tuhan sedang menunjukkan bahwa manusia adalah sama di hadapan-Nya. Jauh lebih dari itu, Siti Hajar sebagai sosok yang sangat peduli terhadap kehidupan orang lain, beliau tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga untuk seorang anak manusia yang tak berdaya. Dengan ini, Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang nilai-nilai dan sikap-sikap yang luhur dan mulia.

Ketiga, wuquf, berada di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah untuk berdzikir dan berdoa. Di mana pada saat itu, seluruh jemaah Haji dari berbagai negara, bahasa, suku, jenis kelamin, jabatan, pangkat, strata sosial, berkumpul bersama di bawah terik matahari dengan satu warna pakaian. Kedudukan mereka di hadapan Tuhan itu sama, apa yang mereka punya sebelumnya, apa yang mereka pakai sebelumnya serta simbol-simbol primordial yang selalu diagung-agungkan dan menjadi alasan kesombongan dan keangkuhan diri pada hari itu hilang lenyap, semuanya sama, sama-sama tidak punya apa-apa. Selain itu, wuquf di Arafah juga sebagai gambaran “kehidupan” kelak di hari kiamat, berkumpul di padang Mahsyar seraya bersama-sama menunggu keputusan Allah akan nasib selanjutnya.

Keempat, jamarat, melemparkan batu di tiga tempat di Mina, masing-masing tujuh kali. Di tempat itu mereka tidak menemukan setan atau lawan yang akan mereka lempar pakai batu, hal ini mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya yang mereka lempar itu adalah nafsu setan dan kebinatangan yang terdapat dalam diri mereka masing-masing atau dengan kata lain jamarat sebagai simbol perjuangan manusia untuk membersihkan hati dengan melemparkan sifat-sifat ego yang sebelumnya menjadi teman baiknya. Kelima, kurban. Selain untuk bersedekah, menyembelih hewan kurban juga sebagai simbol perjuangan manusia mewujudkan solidaritas social-ekonomi demi kesejahteraan bersama (halaman 172).

Kelima hal tersebut di atas selayaknya memang menjadi “pakaian” para jemaah haji ketika sudah pulang ke kampung halaman masing-masing, agar mereka benar-benar seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, tidak punya dosa. Selain itu, umat Islam secara umum yang akan merayakan Hari Raya Idul Adha juga seharusnya mampu menangkap serta berusaha untuk mempraktikkan pesan-pesan yang tersirat dalam prosesi ibadah haji, walaupun mereka belum menginjakkan kaki di Tanah Suci.

 

Peresensi adalah Saiful Fawait, mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep, Jawa Timur.


Data Buku

Judul         : Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi
Penulis      :  K.H. Husein Muhammad
Cetakan     : 1, Maret 2017
ISBN          : 978-602-60244-5-9
Tebal          : 225 Halaman

Menyelami Kisah Samudera Kasih Auliya

Dimuat di Media Jatim pada 8 Agustus 2017

 

Mencintai sesuatu secara berlebihan tanpa disertai ilmu pengetahuan, akan menjadikan seseorang lupa segala hal. Perhatian akan senantiasa tertuju pada satu titik, yang dicintainya. Ia akan rela melakukan apa saja demi menggapai cintanya. Akan rela mengorbankan segalanya, demi memenuhi nafsu cintanya. Apalagi, jika yang dicintainya tersebut adalah dunia. Harta dan tahta misalnya. Terlalau mencintai dunia akan membuat seseorang lupa pada kehidupan yang lebih kekal nanti, akhirat. ia akan disibukkan untuk selalu memenuhi keinginan dunianya.

Dalam Islam, tergila-gila pada dunia tentu sangat tidak diperbolehkan. Bahkan, umat manusia dianjurkan untuk snantiasa bersikap zuhud terhadap dunia. Artinya dunia hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup semata. Tidak sampai pada tingkat mencintai dan ingin selalu memiliki harta dunia sebanyak-banyaknya.

Terkait dengan zuhud, manusia yang hidup di zaman modern seperti sekarang ini sangat jarang untuk bersikap zuhud pada dunia. Sebab, dunia dan seisinya yang begitu menarik perhatian ini terkadang menggoyahkan iman mereka untuk tidak memilikinya. Bahkan sampai-sampai manusia rela melakukan apa saja demi memenuhi hawa nafsunya terhadap dunia.

Kita seyogyanya patut berintospeksi diri terhadap tindak-tanduk sehari-hari kita. Tentang bagaimana kita bersikap terhadap teman yang sedang butuh bantuan. Tentang bagaimana kita memposisikan diri sebagai hamba Allah yang seharusnya selalu mengerjakan titah dan menjauhi larangan-Nya. Tentang bagaimana kita dalam memperlakukan makhluk lain yang tidak mempunyai daya lebih daripada kita. Apakah kita hanya akan berlaku semena-mena seenak perut selama mempunyai kekuatan dan kekuasaan?

Nah, buku rakitan Muhammad Khalid Tsabit ini mungkin menjadi salah satu alternatif cara untuk melakukan introspeksi. Buku yang merupakan kumpulan kisah para auliya (kekasih Allah) ini berisi tentang kejadian-kejadian menggetarkan yang pernah dialami oleh mereka. Pada halaman pertama buku ini, kita akan disuguhi kisah Hatim al-Ashamm (Hatim “Si Tuli”) yang mana julukan al-Ashamm ini disandang karena terjadi suatu peristiwa indah yang mengharukan (raqiqah jamilah).

Kala itu, Hatim sedang mengajar di ma jelisnya. Seorang perempuan datang mnemuinya untuk bertanya. Di tengah percakapannya dengan Hatim, tiba-tiba bunyi keras kentut keluar darinya. Merahlah muka perempuan itu karena malu yang tak tertangguhkan. (hal. 22)

Dan inilah sikap sang auliya untuk menutupi rasa malu si perempuan. Hatim malah memegang kedua telinganya  sembari berkata: “Keraskan suaramu, aku tak dapat mendengar ucapanmu! Tolong keraskan ucapanmu!”

Mendengar pernyataan Hatim, si perempuan kemudian kembali normal seperti sedia kala. Karena dia mengira kalau Hatim memang tidak mendengar suara kentut yang begitu kerasnya tersebut. Betapa luhur budi pekerti Hatim demi menjaga perasaan si perempuan. Hingga kemudian Hatim terkenal dengan julukan al-Ashamm seperti yang kita kenal sekarang.

Adapun cara penulisan kisah auliya yang dikelompokkan secara tematik sangat memudahkan pembaca untuk mengetahui makna yang tersirat dari kisah yang sedang dibaca. Seperti kisah para kekasih Allah tentang kezuhudan beliau. Yaitu kisah dari Abu al-Abbas al-Munaji yang hanya mencari seikat kayu bakar setiap hari dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga, dan para muridnya.

Suatu ketika saat Abu al-Abbas mencari kayu bakar seperti biasa, tiba-tida datang seorang laki-laki menemuinya dan bermaksud untuk memberikan sekantong uang. Si laki-laki tersebut memaksa Abu al-Abbas untuk menerima uang tersebut meskipun sudah berkali-kali Abu al-Abbas menolaknya. Kemudian Abu al-Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah menjaga para kekasihnya dari dunia. Dan Allah telah mencukupkanku dengan seikat kayu bakar di atas kepalaku ini. salah seorang hamba Allah bisa saja berkata kepada seikat kayu bakar ini, jadilah kamu emas! Dan ia pun akan menjadi emas.” (hal. 72). Benar saja, seikat kayu bakar yang dikumpulkan Abu al-Abbas seketika itu juga berubah menjadi emas berkilauu. Padahal Abu al-Abbas tidak benar-benar bermaksud untuk merubahnya.

Melalui satu kisah Abu al-Abbas ini, dapat kita pahami bahwa sebenarnya harta dunia memang tidak berguna jika berlebihan. Apalagi sampai kita tergila-gila padanya. Mayoritas manusia terkadang selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya. Jika sudah mempunyai tempat tinggal yang bagus, maka akan berusaha untuk bisa mendapatkan mobil. Apabila sudah mendapatkan keduanya, maka tetap akan merasa kurang. Menambah koleksi mobilnya misalkan. Sama sekali akan sulit merasa cukup terhadap hak miliknya. Padahal Allah telah mencukupkan sesuatu yang kita miliki sesuai dengan kebutuhan kita.

Oleh sebab itu, meneladani kisah-kisah para auliya tentu menjadi suatu keharusan bagi kita untuk tahu bagaimana kita bersikap terhadap dunia yang fana ini. Mengidolakan mereka tentu lebih baik pula berguna daripada mengidolakan orang-orang yang tidak jelas kelakuannya. Karena hal itu akan berdampak terhadap keimanan kita kepada Allah. Pun kecintaan kita terhadap-Nya dan sesuatu yang telah dititahkannya akan bertambah.

Adapun membaca kisah-kisah tentang kasih para kekasih Allah yang tertuang dalam buku ini menjadikan kita sadar tentang posisi kita sebagai hamba Allah. Mengingat tentang betapa ikhlas mereka dalam beribadah, bershadaqah, memperlakukan makhluk Allah dengan begitu baiknya, sama halnya dengan memberikan peringatan bagi diri penulis sendiri, betapa masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki dan disempurnakan. Betapa mereka dalam melakukan suatu kebajikan semata disandarkan keikhlasan hanya karena Allah semata. Hanya karena mencintai-Nya. Sungguh tak satupun kisah dalam buku ini yang pernah penulis lakukan dengan begitu sempurnanya. Selamat membaca dan selamat berintrospeksi diri!

Guluk-guluk, 06 Nopember 2016

 

DATA BUKU

Judul: Qisasul Auliya (Kisah Para Kekasih Allah); Rampai Teladan-Kehidupan yang Menggetarkan Hati

Penyusun: Muhammad Khalid Tsabit

Penerbit: Qaf Media Kreativa

Terbitan: Cetakan I, 2016

Tebal Buku:  347 halaman

ISBN: 978-602-73761-7-5

Soal Puasa, Potong Kuku dan Rambut pada Awal Dzulhijjah

Assalamualaikum wr wb,

Hari-hari ini ada 2 masalah yang paling banyak ditanyakan oleh umat. Mereka bingung karena banyaknya postingan yang berbenturan.

Oleh karena itu PP IPIM (Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Imam Masjid) merasa perlu untuk memberi penjelasan singkat sebagai berikut:

  1. Soal puasa tgl 1-8 Dzulchijjah (23-30 Agustus 2017), itu termasuk puasa bulan-bulan haram (اشهر الحرم), hukumnya sunnah dan bagus, berdasar hadis shahih Muslim dll. Sedang puasa tgl 9 Dzulchijjah (31 Agustus 2017) sudah amat masyhur, sbg puasa Arafah. Untuk tgl 10-13 Dzulchijjah (1-4 September 2017) diharamkan berpuasa (krn hari Nachar dan hari Tasyriiq).

 

  1. Mengenai larangan memotong rambut dan kuku mulai tgl 1-9 Dzulchijjah, para fuqaha’ berbeda pendapat sbb:
  • menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih), larangn itu bukan berakibat hukum haram melainkan makruh saja. Bahkan menurut fuqaha’ Hanafiyyah memotong rambut dan kuku tsb hukumnya mubach (boleh), bukan makruh, apalagi haram.
  • ada fuqaha’ yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku orang yang akan berqurban.
  • banyak pula yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan qurban.

Demikian, semoga umat menjadi tenang dalam beribadah dan tidak terganggu lagi dengan postingan2 yang berlawanan.

Lebih jelas bisa dibaca buku FIQIH KONTEMPORER (oleh Ahmad Zahro)

Terimakasih dan mohon maaf. Semoga bermanfaat…aamiin.

Wassalamualaikum wr wb,

Ahmad Zahro
Ketum PP IPIM

http://www.youtube.com/c/azahroofficial

Belajar dari 100 Kisah Inspiratif

Dimuat di NU Online pada Jumat, 8 Juli 2017

 

Ada yang mengatakan bahwa kisah merupakan cermin bagi hidup seseorang. Sebuah kisah akan menyajikan berbagai hal yang sudah terjadi di masa lampau. Ada banyak kisah perjalanan hidup seseorang yang diabadikan, baik itu kisah sedih, susah, bahagia, senang, dan lain sebagainya, sehingga dengan adanya kisah tersebut kita bisa mengambil pelajaran atau ibrah untuk kebaikan kehidupan kita pada saat ini. Layaknya sebuah cermin, kisah akan membantu kita untuk menampilkan atau memperlihatkan konsekuensi yang akan kita terima sebab adanya suatu sikap atau keputusan yang kita ambil.

Dari berbagai kisah yang ada, baik yang tertulis maupun yang tidak, itu merupakan cerminan bagi kehidupan kita saat ini. Dalam Al-Qur’an misalnya, Allah telah memastikan untuk mengabadikan jasad Firaun di dunia, agar orang-orang yang hidup setelahnya bisa mengambil pelajaran dari kisah perjalanan hidup sang raja zalim tersebut, sehingga mereka tahu bahwa jika berbuat kejahatan di muka bumi maka hasilnya akan seperti ini, dan begitu pun sebaliknya.

Ada beberapa kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, kisah orang-orang yang baik dan ada juga kisah orang-orang jahat yang berujung pada sebuah penyesalan, hal ini menandakan bahwa sebuah kisah amatlah penting sebagai bahan koreksi diri. Selain dalam Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi juga banyak menampilkan berbagai macam kisah yang dialami oleh Nabi sendiri ataupun para sahabatnya. Bisa dikatakan bahwa hadits itu sendiri merupakan kisah agung yang sangat patut untuk kita ketahui dan pelajari.

Dalam buku Setan Pun Hafal Ayat Kursi disajikan lebih dari 100 kisah yang dituturkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan orang bijak, yang dihimpun dari hadits, kitab-kitab karya ulama klasik, dan sebagian dikutip dari manuskrip (makhtuthat) yang belum diterbitkaan, sehingga menjadikan kisah ini penuh hikmah, sarat makna, dan sangat bermanfaat. Tidak sembarang kisah yang penulis sajikan di buku ini, karena yang diambil hanya teks-teks yang mu’tamad, dihimpun dari 150 kitab klasik yang masih jarang kita temui, sehingga penghimpunan pun berlangsung lama.

Setidaknya-tidaknya ada delapan bab (kisah) yang penulis hadirkan di sini, di antaranya ada yang khusus mengisahkan tentang bahayanya durhaka atau menyakiti hati orang tua. Dalam satu riwayat yang diceritakan oleh Awam bin Hausyab, suatu ketika selepas Ashar ia lewat di sebuah area kuburan, tiba-tiba ada satu kuruban yang terbelah dan muncullah mayat laki-laki berbadan manusia dan berkepala keledai dari dalam kuburan, kemudian dia meraung tiga kali persis raungan keledai. Setelah ditelusuri ternyata semasa hidupnya dia selalu minum arak (mabuk-mabukan), dan ketika dinasihati oleh ibunya ia membentak dan menganggap ibunya sama seperti keledai (halaman 130).

Begitu pun dengan riwayat Malik bin Dinar, ia berkata, suatu ketika nabi beserta keluarganya melewati kuburan Baqi, seketika itu beliau mendengar suara orang meminta pertolongan dari dalam kuburan, setelah dihampiri tiba-tiba kuburan itu terbelah dan keluarlah mayat seorang pemuda dengan muka yang sangat hitam dan seluruh tubuhnya diikat dengan tali-tali dan rantai besi. Si mayat mengaku bahwa ia menjadi demikian karena ibunya tidak meridhainya, lantaran ia pernah menyakiti dan melemparkan ibunya ke dalam tungku, karena ia lebih berpihak dan membela istrinya yang sedang mendapat perlakuan kurang baik dari ibunnya (halaman 160).

Dari penggalan dua kisah tersebut, kita bisa mengambil ibrah bahwa kita wajib berbakti kepada kedua orang tua, dan sangat tidak pantas untuk membentak dan apalagi menyakiti hatinya, karena hal ini berkaitan dengan keadaan kita setelah meninggal dunia. Keridhaan orang tua sangat kita harapkan karena akan mengantarkan kita ke jalan yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat. Mungkin ketika masih di dunia, kita tidak merasakan apa-apa walaupun kita sering durhaka kepada orang tua, bahkan kita merasa lebih puas, sehingga perbuatan jelek terhadap orang tua terus kita tingkatkan, mulai di rumah kita sendiri hingga ke pengadilan.

Buku ini hadir sebagai cermin bagi setiap perbuatan kita, sebuah cermin yang akan menampakkan konsekuensi-konsekuensi yang akan kita tanggung sebagai balasan dari apa yang telah kita perbuat. Para pembaca bisa mengambil banyak hikmah dari setiap rentetan kisah yang tersaji dengan bahasa yang sangat ringan, renyah, dan mengalir seperti air. Judul yang diletakkan di sampul depan, “Setan Pun Hafal Ayat Kursi”, diambil dari satu kisah yang ada dalam buku ini, dan pada bab terakhir (bab delapan) diulas tuntas perihal setan dan sekutunya, juga perbedaannya dengan jin dan iblis, dijelaskan pula tentang keutamaan Ayat Kursi, yang salah satunya dapat mengusir setan.

Data Buku
Judul        : Setan pun Hafal Ayat Kursi: 100 Kisah Penyegar Iman
Penulis        : Aep Saepulloh Darusmanwiati
Penerbit     : Qaf
Cetakan     : 2016
ISBN         : 978-602-73761-2-0
Tebal         : 341 halaman

Peresensi, Saiful Fawait, adalah mahasiswa Istitut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep

 

https://www.nu.or.id/post/read/79403/belajar-dari-100-kisah-inspiratif

Cara Mudah Memahami Intisari Al-Qur’an

Dimuat di NU Online pada Jumat, 18 Agustus 2017

 

Bagi sebagian orang, memahami kandungan al-Qur’an masih terasa sulit dan bahkan tidak tahu sama sekali. Islam menganjurkan dan mewajibkan umatnya untuk mengamalkan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an, tapi bagaimana cara umatnya untuk menyerap pesan-pesan al-Qur’an, sedang mereka tidak mempunyai kemampuan dan keahlian, tidak pernah mengenal ilmu-ilmu alat (nahwu-sharraf) sebagai pintu masuk untuk membuka pemahaman tentang al-Qur’an.

Untung saja ada terjemahan al-Qur’an versi bahasa Indonesia, sehingga sebagian orang bisa membaca arti al-Qur’an walaupun tidak sampai pada pemahaman secara terperinci. Ahsin Sakho Muhammad, seorang pakar dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an mencoba membantu para penyuka al-Qur’an agar mereka lebih mengerti dan paham tentang kandungan al-Qur’an lewat bukunya yang berjudul Oase Al-Qur’an: Penyejuk Kehidupan.

Dalam buku ini dijelaskan tentang kriteria, kelompok, dan golongan orang-orang yang disayang Allah, benar-benar menjadi hamba-Nya yang memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat. Pada surah al-Ahzab ayat 35 misalnya, di sana tertera 10 kelompok yang akan mendapat ampunan dan berhak memegang tiket ke surga. Di antaranya adalah orang yang senang bersedekah kepada yang membutuhkan, ikhlas karena Allah tanpa mengharap pujian dan balasan. Kelompok lain yang mempunyai tiket ke surga adalah mereka yang gemar berpuasa, baik puasa sunnah dan apalagi puasa wajib (halaman 46).

Sikap kedua kelompok tersebut selayaknya memang harus tertanam dalam diri setiap Muslim. Keduanya mencakup hubungan horizontal dengan sesama dan hubungan vertikal dengan Allah. Menolong sesama, terutama kepada para kerabat dan tetangga sekitar, merupakan salah satu langkah yang sangat baik untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera.

Orang-orang yang sering menolong dan membantu tetangga dekatnya akan lebih disenangi daripada mereka yang enggan mengulurkan tangan. Penilaian dan respons masyarakat pun akan berbeda, sehingga orang yang suka menolong dan hidup bersosial bisa dikatakan mempunyai peluang untuk hidup lebih nyaman di tengah-tengah masyarakat dibandingkan mereka yang hidup secara individualis.

Begitupun dengan orang-orang yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya, mereka juga mempunyai peluang untuk hidup bahagia di alam akhirat kelak. Mendekatkan diri kepada Allah bisa ditempuh dengan berbagai hal, salah satunya bisa dengan memperbanyak puasa sunnah seperti yang dilakukan oleh para sufi. Menurut sebagian sufi, puasa yang dilakukan secara terus-menerus pada akhirnya akan dapat menghilangkan nafsu yang jelek, yang ada hanyalah kesucian hati dan kejernihan pikiran. Jika sudah demikian, kebahagiaan itu tidak hanya terjadi di akhirat kelak, tetapi sudah mulai hadir sejak di dunia.

Kedua sikap terpuji di atas juga tertera dalam surah al-Baqarah ayat 1-5, di sana dijelaskan tentang lima sifat yang mencakup hubungan kita dengan Allah, dan hubungan kita terhadap sesama. Pertama, aspek akidah (iman terhadap hal-hal gaib, kitab-kitab suci, dan hari akhir); kedua, syariah (hubungan vertikal dengan Allah [shalat] dan hubungan horizontal dengan sesama [infak]).

Aspek akidah dan syariah yang tercantum dalam surah al-Baqarah: 1-5 ini oleh penulis disebut sebagai inti ajaran Islam (halaman 32). Siapapun yang berhasil melaksanakan kedua aspek tersebut dengan baik dan ikhlas, ia mempunyai peluang untuk menjadi hamba Allah yang akan hidup bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam buku ini kita akan menemukan beberapa potongan ayat yang bisa menenteramkan suasana hati, menjernihkan pikiran, serta menyejukkan kehidupan. Kita diajak untuk menjadi seorang mukmin yang cerdas secara mental, sosial, moral, dan spiritual, sehingga bisa menyejukkan hati sendiri maupun orang lain.

Setiap bab hanya berisi satu pokok bahasan, yang didahului dengan beberapa potongan ayat al-Qur’an dan kemudian diberi poin-poin penting yang dikandung oleh ayat tersebut. Poin-poin tersebut tidak terlalu panjang, ringkas, dan padat, langsung pada inti maksud dari ayat yang bersangkutan, sehingga hal demikian tidak terlalu membingungkan bagi mereka yang awam dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an.

 

 

Data Buku

Judul             : Oase Al-Qur’an: Penyejuk Kehidupan

Penulis          : Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad

Penerbit        : Qaf

Cetakan         : 1, 2016

ISBN              : 978-602-1337-35-6

Tebal              : 346 Halaman

Peresensi      :  Saiful Fawait, Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep, Jawa Timur.

 

https://www.nu.or.id/post/read/80538/cara-mudah-memahami-intisari-al-quran

 

 

MENGENAL PRIBADI MUSLIM DALAM AL-QURAN

Al-Quran adalah kalam Allah yang agung, diturunkan kepada umat manusia untuk menolong mereka dari belenggu kegelapan (jahiliyah) menuju cahaya kesalamatan (Islam), Al-Quran adalah jalan yang lurus, undang-undang yang paling moderat dan absah, sumber segala kebahagiaan, risalah Allah yang abadi, mukjizat Allah yang kekal, rahmat Allah yang paling luas, di dalamnya terkandung hikmah-hikmah kehidupan yang begitu bijaksana dan nikmat Allah yang luar biasa. Al-Quran adalah inti syariah, tiang agama, kitab panutan umat, cahaya kearifan.

Al-Quran adalah jalan yang mampu mengantarkan umat manusia pada Tuhan semesta alam (Allah), kendaraan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Quran adalah hujah Rasulullah saw. yang tak terbantahkan, kitab pedoman Islam yang paling komplit, meliputi; akidah, ibadah, hukum, sastra (linguistik), akhlak, etika dan moral, kisah-kisah (al-qisasu), peringatan, ilmu pengetahuan (al-Ayat al-Kauniyah), berita (al-anba’), petunjuk, dan dalil kebenaran Islam. Al-Quran adalah cahaya pencerahan, Al-Quran bak telaga bagi yang haus hidayah dan kasih sayang-Nya, Al-Quran adalah pusat segala kebajikan, yang tidak pernah kering sepanjang masa.

Al-Quran adalah kitab istimewa, satu-satunya kitab yang mampu memberi pertolongan kelak di hari kiamat bagi yang membaca dan mempelajarinya, dalam satu Hadits dikatakan, “Bacalah Al-Quran, sesungguhnya dia akan datang di hari kiamat memberi pertolongan kepada orang yang berpegang teguh kepadanya”.

Al-Quran adalah kitab multidimensi, selain berposisi sebagai petunjuk bagi umat manusia dan memberi pertolongan (syafaat) kelak di hari kiamat, Al-Quran juga berfungsi sebagai obat (syifa’) bagi segala macam penyakit, baik penyakit luar (dhahir) atau dalam (bathin). Dalam satu ayat disebutkan, “Aku turunkan Al-Quran sebagai obat dan kasih sayang bagi orang-orang yang beriman”, dalam ayat lain juga disebutkan, “ingatlah, dengan menyebut nama Allah hati akan tenang”. Hal demikian dapat kita saksikan dalam kehidupan nyata, di mana dewasa ini, banyak orang yang memilih menyembuhkan penyakitnya melalui pengobatan alternatif, yaitu peraktek ruqqiyah (living Al-Quran), yang sebenarnya peraktek pengobatan tersebut  ada sejak masa Rasulullah dan sahabatnya, tapi sampai saat ini masih relevan. Al-Quran adalah pangkal ibadah, mengamalkannya adalah ibadah, mempelajarinya termasuk ibadah, merenungi kandungannya berbuah ibadah, bahkan membacanya pun adalah ibadah, dalam satu Hadits disebutkan, “sebaik-baiknya kamu sekalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Quran”. Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Barang siapa yang ingin berkomunikasi dengan Allah maka bacalah Al-Quran”. Kendatipun demikian, Al-Quran hanyalah Al-Quran, yang akan diam dan tidak berfungsi apa-apa, jika tidak dikaji, diteliti dan dipelajari secara saksama. Pertanyaannya sekarang, sebagai muslim, bagaimana seharusnya kita? Seperti apa kriteria muslim dalam Al-Quran?

Kehadiran buku ‘Oase Al-Quran Penyejuk Kehidupan’ karya Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad adalah jawabannya. Beliau adalah salah satu ulama, hafiz sekaligus intelektual muslim yang mempunyai perhatian dan kepedulian lebih terhadap Al-Quran, keseharian hidupnya dihiasi dengan Al-Quran, mulai sejak kecil sampai sekarang. Selain aktif di berbagai Organisasi Tahfiz Al-Quran internasional, beliau juga sebagai Dosen di UIN Syarif Hidayatullah, sekretaris Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran kementerian Agama RI, pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Quran, dan Dewan penasehat di PP. Dar Al-Tauhid di Arjawinangun, Cirebon. (hlm.07-08).

Buku ini mengandung 100 oase qurani yang begitu dahsyat, menghimpun ayat-ayat Al-Quran pilihan yang menjelaskan karakter orang beriman yang sungguh menyejukkan hati, tak tampak kekerasan, yang ada hanyalah sifat manusia cerdas secara mental, sosial, moral, dan spiritual, dan saleh penuh etika. Pertama, sebagai muslim sepatutnya kita berkhidmat pada Al-Quran, yaitu mempelajari, memperhatikan dan mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran dengan niat tulus dan hati ikhlas, yang demikian membuat Allah senang, otomatis  Allah juga menyenangkan kita dengan cara Allah sendiri (hlm 09).

Mukmin yang ideal dalam buku ini, yaitu mereka ketika disebut nama Allah hatinya tergetar karena ingat kekuasaan-Nya, janji dan peringatan-Nya, ketika diperdengarkan ayat-ayat Allah keimanannya bertambah, memasrahkan hasil akhir dari satu pekerjaan dan keadaan hanya kepada Allah, melaksanakan shalat sesuai dengan ketentuannya, dan senang menginfakkan hartanya. Pada prinsipnya mukmin yang disenangi Allah yaitu mukmin yang suasana hatinya patuh kepada Allah, kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, mukmin yang demikian  yaitu mukmin yang selalu memberi kemanfaatan kepada orang lain. Allah sangat senang pada hal tersebut (hlm. 73-74).

Hal yang juga cukup memikat dalam buku ini, yaitu wasiat Al-Quran ternyata tidak melulu menitikberatkan pada aspek vertikal (Allah) saja, tetapi aspek horizontallah yang juga tidak kalah penting, seperti berkata santun, menakar dengan benar, menimbang dengan jujur, memberikan hak kerabat, bersikap sopan, dan lain-lain, sehingga baiknya keislaman seseorang tidak cukup hanya dengan ibadah mahdah (murni) saja, tetapi berupaya bagaimana ibadah tersebut membawa perubahan pada sikap kita, yaitu sikap peduli kepada orang lain, karena ibadah formal hanya untuk kemaslahatan diri sendiri, sementara ibadah sosial bermanfaat pada banyak orang. Inilah inti ajaran Islam yang sebenarnya, agama yang menebarkan kemanfaatan pada banyak orang (hlm. 41-42).

Kemudian ciri ibadurrahman yang di sampaikan dalam Al-Quran yaitu hamba Allah yang menegakkan keadilan secara totalitas, dengan menciptakan stabilitas di masyarakat, berlaku bijak, memaafkan yang salah dan membalas kebaikan dengan yang lebih baik lagi, menjunjung tinggi perdamaian, tidak suka permusuhan dan perpecahbelahan, selalu mengalah demi kebaikan. Tetapi punya prinsip dalam memegang kebenaran, kecerdasan spiritual dan emosianalnya terasah, yang demikianlah prototipe muslim yang dibanggakan Allah (hlm. 45).

Buku ini adalah buku wajib bacaan umat Islam, sangat luar biasa, menarik, melalui buku ini pesan Al-Quran sangat mempesona, begitu dekat dan akrab, sangat gamblang, hati selalu terenyuh untuk selalu mengulang dan membacanya lagi dan lagi, benar-benar menyejukkan. Selamat memiliki!

 

Judul: Oase Al-Quran Penyejuk Kehidupan

Pengarang: Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad

Tebal: 268 hlm

Penerbit: Qaf Media Kreativa

Cetakan: Cetakan I, 2017

ISBN: 978-602-60244-0-4

Peresensi: Imam Fauroni*

 

 

*Alumni PP Annuqayah Lubtara dan INSTIKA Guluk-guluk Sumenep

Aktif di Komunitas Sufi Muda Pesantren

“Kyai Ahsin dan Oase Al-Qur’an”

(Kesan Seorang Murid terhadap Gurunya)

Oleh : Didi Junaedi

Alhamdulillah.. Pagi ini saya bisa menikmati karya terbaru guru saya, Al-Mukarrom Bapak Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad berjudul “Oase Al-Qur’an: Penyejuk Kehidupan”, yang baru saja diterbitkan oleh Penerbit Qaf, Jakarta, di awal tahun 2017 ini.

Buku yang berisi untaian hikmah, yang penulisnya menyebut Oase ini adalah kutipan ayat-ayat al-Qur’an penyejuk kehidupan disertai keterangan singkat dari penulisnya, yang merupakan seorang pakar Qira’at dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Sungguh, saya sangat beruntung sempat menyesap ilmu dari beliau secara langsung selama tiga semester berturut-turut, ketika kuliah S1 di Jurusan Tafsir Hadis IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada akhir 90-an lalu.

Kedalaman ilmu beliau tampak jelas saat menerangkan materi kuliah. Beliau selalu mendasarkan keterangannya pada referensi-referensi yang otoritatif (mu’tabar). Kekayaan literatur serta referensi inilah yang menjadikan mata kuliah yang beliau ampu begitu berisi dan berbobot.

Seingat saya, selama tiga semester itu beliau mengampu tiga mata kuliah yang berbeda, yaitu: Ilmu Qira’at, Manhaj (Metode) Tafsir, dan Bahtsul Kutub Tafsir.

Dalam setiap pertemuan, dari seluruh mata kuliah yang beliau ampu, selalu ada informasi serta ilmu baru yang beliau sampaikan. Kemampuan beliau menelaah karya-karya klasik ulama masa lalu, dan juga penguasaan beliau terhadap karya-karya kontemporer sarjana-sarjana muslim modern, menjadikan materi kuliah begitu menarik.

Beliau yang seorang hafizh (hafal Al-Qur’an 30 Juz) terlihat begitu piawai menyertakan dalil berupa ayat-ayat al-Qur’an setiap kali menjelaskan sebuah tema. Tidak sekadar menyebut ayat dan terjemahnya saja, tetapi lengkap dengan asbab al-nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut dan tafsirnya dari sejumlah mufassir.

Satu hal lagi kesan saya atas beliau, yaitu wibawa (kharisma) serta kerendahan hati (tawaduk)-nya yang tampak begitu jelas. Gaya bertutur yang tenang ketika menjelaskan materi, membuat seisi kelas hening, menyimak penuh khidmat apa yang beliau sampaikan.

Kembali ke karya terbaru beliau. Buku setebal 268 halaman, yang baru saja saya beli kemarin sore, sepulang dari kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, berisi 100 Oase Al-Qur’an yang menyejukkan kehidupan.

Seperti tertera di sampul depan buku tersebut, pembaca bisa menikmati sajian rohani ini dengan cara membaca satu hari satu oase. Meskipun pembaca bebas untuk membacanya sehari beberapa oase sekaligus pun tidak masalah.

Buku ini, kalau boleh saya katakan, layaknya renungan harian, di tengah rutinitas dan kesibukan kita menjalani hidup sehari-hari. Di tengah aktivitas yang padat, kita bisa mengambil jeda sejenak untuk merenung (tafakkur) dengan membaca satu tema yang ada di buku ini. Meski singkat, uraian setiap tema di buku ini sangat mengena dan menggugah jiwa.

Semoga kehadiran buku karya guru saya yang mulia ini benar-benar mampu menjadi oase di tengah gersang dan tandusnya padang jiwa kita… Amiiin..

Shalat Jumat di Jalan

Assalamu‘alaikum wr wb,

Mengenai tempat pelaksanaan shalat Jumat, para fuqaha’ berbeda pendapat sebagai berikut:

Para fuqaha’ Malikiyyah (ulama ahli fiqih pengikut madzhab Malikiy) berpendapat, bahwa shalat Jumat hanya boleh dan sah jika dilaksanakan di masjid, karena Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakan shalat Jumat di masjid Nabawiy dan tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Beliau SAW pernah melaksanakan shalat Jumat tidak di masjid. Status riwayat ini adalah mutawaatir (aklamatif), tidak seorang pun yang menyanggahnya. Ibnu Rusyd (w. 594 H) dari kalangan madzhab Malikiy, menyatakan: ”Tidak sah pelaksanaan shalat Jumat di selain masjid”.

Tetapi jumhuur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) dalam hal ini Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa shalat Jumat tidak mutlak harus dilaksanakan di masjid. Memang lebih utama dilaksanakan di masjid, tetapi dalam keadaan dan pertimbangan tertentu, boleh dilaksanakan di luar masjid. Hal ini didasarkan pada keumuman  hadis tentang Jumatan, yang hanya meyebutkan *”secara berjamaah”* dan tidak menentukan tempatnya secara eksplisit, sebagaimana hadis: “Shalat Jumat itu wajib bagi setiap pribadi muslim secara berjamaah…” (HR Abu Dawud dari Thariq bin Syihab RA). Juga berdasar sejarah shalat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh Mus’ab bin Umair dan kaum muslimin di Madinah atas perintah Nabi SAW sebelum beliau hijrah (HR ad-Daruquthniy dari Ibnu Abbas RA).

Waktu itu di Madinah belum ada masjid, sehingga shalat Jumat pasti tidak dilaksanakan di dalam masjid.

Berikut pernyataan para fuqaha’ terkenal dalam madzhab jumhuur, antara lain:

Ibnu Qudamah (w. 620 H) fuqaha’ terkenal dari madzhab Hanbaliy menyatakan: ”Tidak disyaratkan bagi sahnya shalat Jumat itu harus di antara bangunan, melainkan boleh dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini adalah juga pendapat imam Abu Hanifah” (al-Mughniy 2/171).

Imam an-Nawawiy (w. 676 H) tokoh fuqaha’ Syafi’iyyah menyatakan: ”Para fuqaha’ madzhab Syafi’iy berpendapat, bahwa mendirikan shalat Jumat tidak disyaratkan harus di masjid, melainkan boleh di tempat terbuka asalkan tempat tersebut masih dalam wilayah desa atau kota yang bersangkutan” (al-Majmuu’ 4/501).

Zainuddin al-Iraqiy (w. 806 H) juga dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan: ”Madzhab kami berpendapat, bahwa pelaksanaan shalat Jumat tidak harus di masjid, melainkan bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan” (at-Tatsriib 4/90).

Berdasarkan paparan pendapat fuqaha’ jumhuur tersebut dapat difahami, bahwa shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, asalkan ada pertimbangan yang dapat dibenarkan secara syar’iy (ajaran Islam), antara lain: masjid yang ada di sekitar tidak mencukupi, tidak menimbulkan gangguan, dan ada kebutuhan urgen yang mengharuskan dilaksanakannya shalat Jumat di jalan.

Memang lazimnya jalan itu untuk lalu-lintas, bukan untuk shalat, bahkan duduk-duduk di jalanan pun dilarang. Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Hindari duduk-duduk di jalanan”. Para sahabat berkata: ”Kami tidak ada pilihan lain, inilah tempat kami ngobrol”. Beliau bersabda: ”Kalau begitu, berilah hak jalan”. Mereka bertanya: ”Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab: ”Menahan pandangan, tidak menyakiti/mengganggu orang, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi mungkar” (HR al-Bukhariy, Muslim dan lain-lain dari Abi Sa’id al-Khudriy RA).

Tetapi dalam kondisi kebutuhan urgen, maka shalat Jumat di jalan diperbolehkan. Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan: “Al-ḥājah tanzilu manzilataḍ ḍarūrati” (kebutuhan mendesak itu dapat menduduki posisi darurat), sedangkan keadaan darurat itu membolehkan yang mestinya tidak boleh, “Aḍ-ḍarūrātu tubīḥul maḥẓūrāt” (keadaan darurat itu dapat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang semula dilarang).

Pada masa lalu juga pernah terjadi shalat Jumat tidak di masjid, melainkan di tempat terbuka, bahkan di jalan.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Harairah RA, bahwa kaum muslimin pernah menulis surat pada khalifah Umar RA, menanyakan tentang shalat Jumat. Maka beliau RA membalas surat mereka (yang isinya): ”Lakukanlah shalat Jumat di mana saja kalian berada” (Atsar ini shahih).

Pada tahun 1453 M, dalam penaklukan kekaisaran Byzantium (Romawi Timur), sultan Muhammad al-Fatih (sultan ke 7 Kesultanan Turki Utsmaniy) pernah melaksanakan shalat Jumat di jalan menuju Konstantinopel bersama ribuan pasukannya yang membentang kira-kira sepanjang 4 km. (Sejarah Penaklukan Konstantinopel).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa terlepas dari adanya perbedaan pendapat, shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, walau jika dilaksanakan di masjid tentu lebih utama.

Wallaahu a’lam

Wassalamu’alaikum wr wb,

ttd.

Ahmad Zahro (Ketum PP IPIM)

Masnawi, Biblioterapi, dan Kekuatan Cerita

Judul buku: Terapi Masnawi
Penulis: Prof. Dr. Nevzat Tarhan
Penerjemah: Ridho Assidicky, Ummahati Solichin, Bernando J Sujibto
Penerbit: Qaf Publishing, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 316 halaman
ISBN: 978-602-73761-4-4

Pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi (1207-1274) telah dikenal luas tidak hanya di kalangan umat Islam. Salah satu mahakaryanya, yakni Masnawi, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia dan dikaji oleh banyak kalangan, termasuk nonmuslim.

Buku ini mencoba mengangkat Masnawi dalam konteks yang bersifat praktis, yakni terapi. Nevzat Tarhan, penulisnya, adalah seorang profesor di bidang psikiatri dan neuropsikologi dari Turki. Dalam buku ini, Nevzat memilih kisah-kisah dalam Masnawi untuk dijadikan bahan utama dari apa yang kemudian disebutnya biblioterapi.

Dalam bidang psikoterapi, biblioterapi terbilang masih relatif baru. Biblioterapi adalah penggunaan teks-teks khusus untuk mengatasi penyakit dan gangguan jiwa dengan pendampingan khusus dari seorang spesialis. Menurut Nevzat, melalui kisah dan syair-syair dalam karyanya ini, Rumi memberikan pelajaran penting tentang bagaimana mengendalikan energi liar dalam diri kita.

Bagaimana sebuah kisah terpilih dapat menjadi terapi? Bagaimana biblioterapi bekerja? Menurut Nevzat, dengan memperdengarkan cerita yang pas, pendengar diharapkan dapat merasakan dan mengalami proses transformasi mental dalam dirinya. Pada tahap pertama, cerita pilihan itu berfungsi sebagai cermin. Artinya si pendengar menemukan keadaan mental dirinya melalui kisah yang dituturkan.

Selanjutnya, kisah-kisah itu memantik titik-titik refleksi si pendengar. Nevzat menjelaskan bahwa ada kekuatan simbol dan metafor dalam kisah-kisah Masnawi sehingga pendengar yang menyimak kisah yang tepat akan didorong untuk menemukan sudut pandang yang baru terkait dengan kondisi psikologis yang dihadapinya.

Selain itu, dalam biblioterapi, masalah berusaha dipecahkan dengan cara membicarakannya melalui titik tolak kisah tertentu yang dirasa pas. Perspektif baru dan inspirasi dari kisah tersebut diharapkan dapat melemahkan penyakit mental yang dimiliki seseorang yang sedang menjalani proses terapi.

Bagian utama buku ini memuat 32 pola pikir keliru yang dikategorikan sebagai penyakit mental yang biasa dihadapi manusia. Untuk kepentingan terapi, Nevzat memulai dengan mengangkat satu judul tentang pola pikir tertentu yang keliru. Setelah itu dia mengutip satu kisah dari Masnawi dan kemudian memberikan uraian dalam kerangka terapi atas sikap mental yang keliru tersebut. Setiap judul kemudian ditutup dengan kutipan syair dari Masnawi yang tampaknya dimaksudkan sebagai penguat sekaligus merangkum proses terapi.

Di antara contoh pola pikir yang keliru ada yang berupa pikiran untuk memandang diri sendiri sebagai sosok yang istimewa. Nevzat mengutip kisah seekor lalat yang berlagak seolah dirinya itu burung Phoenix. Saat terhanyut di tumpukan sampah yang digenangi kencing keledai, si lalat malah merasa seperti seorang kapten yang tengah menakhodai kapal istimewa.

Bagi Nevzat, kisah ini merefleksikan sikap arogan yang dapat menjerumuskan jiwa. Menganggap diri sebagai sosok istimewa dan penting adalah sebentuk sikap sombong. Menurut Nevzat, orang sombong sebenarnya memiliki penyakit mental berupa sikap tak percaya diri. Dia meninggikan dirinya sendiri untuk mengatasi ketakpercayaan dirinya itu. Sama halnya dengan orang yang bersiul saat melintasi kuburan demi menghilangkan rasa takutnya.

Melalui kisah Rumi, Nevzat menyingkapkan bahwa orang sombong adalah orang yang tertipu. Sombong membutakan diri sehingga seseorang justru semakin terperosok pada sifat-sifat yang buruk dan menggerogoti dirinya.

Ada juga pola pikir yang menganggap semua orang yang mengkritik kita hanya semata bermaksud merendahkan kita. Nevzat mengangkat kisah 4 orang yang tengah shalat namun akhirnya semuanya batal karena saling menanggapi dan mengkritik rekannya yang batal lantaran berbicara.

Di sini Nevzat mengingatkan kecenderungan dasar manusia yang bersifat reaktif saat menerima kritik. Sebaliknya, manusia juga cenderung keburu mengomentari orang lain saat menemukan kesalahan dan lupa akan kesalahan serupa yang dimilikinya.

Menerima kritik harus dengan jernih sehingga kita bisa membedakan antara kritik yang dibuat secara tulus dan kritik yang justru memang berangkat dari niat buruk. Selain itu, menyampaikan kritik jangan sampai terjebak pada sikap menggeneralisasi. Kritik idealnya harus bisa diterima seseorang layaknya sebagai hadiah yang indah.

Selain unsur terapi, pada bagian terakhir buku ini Nevzat menguraikan 10 langkah untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Metodenya juga sama, yakni memanfaatkan kisah-kisah terpilih dari Masnawi. Sepuluh langkah itu dimulai dari mengenali diri sendiri, berempati dan memahami orang lain, menjalin komunikasi dengan baik, dan seterusnya hingga langkah kesepuluh yakni menjadi penengah.

Dalam konteks yang lebih luas, hal paling menarik dari upaya Nevzat untuk memperkenalkan biblioterapi adalah potensi besar dari kisah-kisah tertentu untuk memberi efek perubahan mental pada diri seseorang. Mendidik, membentuk karakter, atau mengobati penyakit mental akan cukup ampuh jika dilakukan dengan pendekatan cerita. Kisah yang disampaikan dalam rangka pendidikan atau terapi tidak terkesan menggurui sehingga lebih mudah diserap.

Tentu saja kita menyadari bahwa Masnawi adalah teks yang istimewa. Menurut Seyed G. Safavi, seorang pengkaji Rumi, teks pramodern seperti Masnawi ditulis dengan sebuah upaya besar dan serius. Ia bukan sekadar buku seperti di era industri modern saat ini yang isinya bisa mudah kedaluwarsa. Bahkan pengkaji Rumi yang lain, Richter, menunjukkan bahwa cara Masnawi disusun mengikuti paradigma al-Qur’an dalam menggabungkan kisah, perumpamaan, pesan etik dan filsafat didaktik.

Meski metodologi pemilihan kisah-kisah Masnawi dan penyusunan aspek terapinya tidak dijelaskan dengan cukup teperinci, kajian Nevzat dalam buku ini mendorong kita untuk melihat lebih jauh potensi kisah-kisah terpilih untuk dimanfaatkan secara lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak potensi kisah, cerita, dan semacamnya baik yang ditulis oleh sastrawan, tokoh agama, atau khazanah lokal, yang mungkin bisa juga ditempatkan dalam kerangka pendidikan karakter dan terapi.

Buku yang diterjemahkan dari bahasa Turki ini juga dapat dilihat sebagai pengembangan dari bentuk pengobatan ala sufi yang bertolak dari teks—sebuah kajian yang masih cukup jarang dalam kajian tasawuf di Indonesia.

M Mushthafa
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juni 2016.

Bagaimana Hukum Jual Beli Online?

Sahabat Qaf atau Qafren yang budiman, masalah jual beli via online (internet) ini benar-benar merupakan masalah fiqih kontemporer yang belum pernah dibahas dalam kitab-kitab fiqih klasik. Oleh karena itu, dalam paparan ini sedapat mungkin saya akan berusaha mengaitkannya dengan item-item jual beli yang ada di kitab-kitab fiqih, terkait dengan ketentuan pokok atau lazim disebut rukun dan syarat jual beli.

Ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual beli, yaitu:

(1). Menurut mazhab Hanafi, rukun jual beli itu hanya satu, yaitu akad saling rela antara mereka (‘an taradhin) yang terwujud dalam ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Selain akad, mazhab Hanafi menyebutnya sebagai syarat.

(2). Sedang menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama fiqih), rukun jual beli itu adalah: a. Penjual dan pembeli. b. Ijab dan qabul. c. Ada barang yang dibeli. d. Ada nilai tukar (harga).

Adapun syarat jual beli yang terpokok adalah: orang yang berakad berakal sehat, barang yang diperjual belikan ada manfaatnya, barang yang diperjual belikan ada pemiliknya, dalam transaksi jual beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan.

Nah, berdasarkan paparan di atas, dapat dibawa ke permasalahan pokok kali ini, yaitu jual beli melalui online (internet) yang sebenarnya juga termasuk jual beli via telepon, sms dan alat telekomunikasi lainnya, maka marka yang terpenting adalah: Ada barang yang diperjual belikan, halal dan jelas pemiliknya, sebagaimana hadis Nabi (yang maknanya): ”Tidak sah jual beli kecuali sesuatu yang dimiliki seseorang” (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Ada harga wajar yang disepakati kedua belah pihak (penjual dan pembeli), Tidak ada unsur manipulasi atau penipuan dalam transaksi (HR. al-Bukhari dan Muslim) Prosedur transaksinya benar, diketahui dan saling rela antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli), sebagaimana makna firman Allah Swt.: “… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling rela di antara kamu…” (an-Nisa’ ayat 29).

Jika empat marka tersebut terpenuhi, maka sebenarnya jual-beli dengan cara apa pun tidak ada masalah, tetap sah dan diperbolehkan. Apalagi jika suatu jenis transaksi itu sudah menjadi kebiasaan, walau menurut orang lain aneh, maka secara fiqih tetap sah dan boleh. Dapat diambil contoh:

Di desa-desa sudah biasa orang yang ke warung itu mengambil dan makan jajan sesuai kemauannya. Baru kemudian ketika akan membayar, si pembeli memberitahu pemilik warung bahwa dia mengambil ini-itu sejumlah sekian. Jadi, andaikata dia berbohong maka pemilik warung tidak akan tahu. Keadaan demikian berlangsung sejak dulu sampai sekarang dan tidak diketahui ada ulama yang keberatan.

Di sebagian suku Dayak ada kebiasaan menjual hasil panenan dengan cara menaruhnya di pinggir jalan tanpa ditunggui pemiliknya. Jika ada orang yang berminat maka dia cukup menaruh barang yang lain miliknya sebagai barter (sekarang sudah ada yang pakai uang) dan mengambil barang yang diminati tersebut sepantasnya. Ini benar-benar transaksi atas dasar “trust” (kejujuran) yang luar biasa. Sampai sekarang juga belum diketahui ada ulama yang keberatan dengan model transaksi demikian.

Malah menurut saya andai transaksi jual beli model ini dibudayakan maka akan mendidik masyarakat untuk bermental dan berlaku jujur. Agaknya “Warung Kejujuran” versi KPK terinspirasi dari transaksi jual beli model ini, walau ternyata warung ini merugi terus: dan ini mengisyaratkan bahwa kejujuran masyarakat kita belum teruji.

Dalam perspektif Ushul Fiqih, sepanjang hal-hal itu terkait dengan muamalah ijtima’iyyah (transaksi sosial kemasyarakatan) maka dapat disandarkan pada kaidah-kaidah berikut: Alâdah muhakkamah (tepatnya al-urf muhkam, sebab ’urf itu mesti kebiasaan yang baik, sedang ‘âdah itu bisa berupa kebiasaan yang baik tapi bisa pula kebiasaan yang buruk), yakni kebiasaan yang baik itu dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan hukum.

Al-Ashlu fil asy-yâ’ al-ibâhah hattâ yadullad dalîlu ‘alat tahrîm, yakni pada dasarnya segala sesuatu itu hukum-nya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Berpijak dari landasan kaidah fiqhiyyah tersebut, maka jual beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah, kecuali jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuan dan sejenisnya, maka secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, yaitu haram. Tetapi kasus tertentu menurut saya tidak dapat dijadikan menjeneralisir sesuatu yang secara normal positif, boleh dan halal. Oleh karena itu, jika ada masalah terkait ketaksesuaian barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, maka berlaku hukum transaksi pada umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah terjalin. Inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab batalnya transaksi jual beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual beli, baik online atau bukan, karena adanya/terjadinya manipulasi atau penipuan. Wallâhu a’lam.

Wassalam,

Prof. Dr. K.H. Ahmad Zahro, M.A.

Penulis buku Fiqih Kontemporer