Dimuat di NU Online pada Jumat, 01 September 2017
Sepuluh Dzulhijjah termasuk salah satu hari yang dimuliakan dalam agama Islam. Di antara bentuk penghormatan tersebut adalah pada hari itu umumnya umat Muslim berbondong-bondong menuju masjid atau tempat ibadah untuk bersama-sama mengagungkan Allah dengan cara membaca takbir, yang kemudian biasanya dilanjutkan dengan menyembelih hewan-hewan kurban. Di kalender Indonesia, pada tanggal 10 Dzulhijjah ada warna merah yang berarti hari libur: libur dari segala “kegiatan”, termasuk urusan keduniaan dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat, sehingga bisa memfokuskan diri untuk lebih dekat kepada Allah. Masih banyak bentuk penghormatan lain dari setiap Muslim yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Buku “Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi” merupakan salah satu rujukan tentang pesan hikmah di balik ritual haji dan Idul Adha. Pada mulanya, hari yang juga disebut dengan Idul Adha ini dirayakan oleh kaum Muslimin yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, sebagai puncak dari seluruh prosesi ibadah yang agung tersebut. Di mana pada hari itu, jemaah haji disunnahkan menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada para fakir miskin (halaman 150), sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ketika menunaikan ibadah haji.
Meskipun demikian, perayaan Idul Adha tidak hanya dikhususkan kepada mereka yang sedang menunaikan ibadah haji, umat Islam secara keseluruhan juga dianjurkan untuk merayakan hari raya kurban tersebut, dengan harapan mereka juga bisa memahami dan menghayati pesan-pesan yang tersirat dalam prosesi ibadah haji tersebut.
Dalam buku ini dijelaskan beberapa pesan yang terkandung dalam lima kegiatan ibadah haji, dimulai dari pertama, tawaf: mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Hal ini menjadi simbol dari perjuangan manusia untuk menuju satu titik fokus dengan cara menyatukan pikiran dan hati, sehingga pasrah sepenuhnya menuju satu titik dari mana mereka berasal dan ke mana mereka akan kembali.
Kedua, sa’i, berlari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah, sebagaimana dilakukan oleh istri Nabi Ibrahim dalam mencari air untuk sang anak tercinta yang baru dilahirkan, Nabi Ismail. Pelajaran berharga dari kisah ini adalah Tuhan memilih seorang perempuan yang bernama Siti Hajar, beliau adalah perempuan berkulit hitam, seorang budak belian dan berkasta (kelas) rendah. Masyarakat sekitar sering meremehkan dan merendahkan beliau, seperti yang dikatakan oleh pemikir kontemporer progresif dan seorang Ideolog dari Iran, Ali Syari’ati, “… tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang yang kesepian, seorang korban seorang asing yang terbuang dan dibenci.” (halaman 158).
Melalui Siti Hajar, Tuhan menampakkan kepada kita semua bahwa manusia sungguh tak patut mencampakkan dan mendiskriminasi manusia lain hanya karena status sosial dan warna kulit. Selain itu, Tuhan memilih “tokoh” berjenis perempuan sebagai simbol bahwa tidak ada perbedaan antara antara laki-laki dan perempuan, Tuhan sedang menunjukkan bahwa manusia adalah sama di hadapan-Nya. Jauh lebih dari itu, Siti Hajar sebagai sosok yang sangat peduli terhadap kehidupan orang lain, beliau tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga untuk seorang anak manusia yang tak berdaya. Dengan ini, Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang nilai-nilai dan sikap-sikap yang luhur dan mulia.
Ketiga, wuquf, berada di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah untuk berdzikir dan berdoa. Di mana pada saat itu, seluruh jemaah Haji dari berbagai negara, bahasa, suku, jenis kelamin, jabatan, pangkat, strata sosial, berkumpul bersama di bawah terik matahari dengan satu warna pakaian. Kedudukan mereka di hadapan Tuhan itu sama, apa yang mereka punya sebelumnya, apa yang mereka pakai sebelumnya serta simbol-simbol primordial yang selalu diagung-agungkan dan menjadi alasan kesombongan dan keangkuhan diri pada hari itu hilang lenyap, semuanya sama, sama-sama tidak punya apa-apa. Selain itu, wuquf di Arafah juga sebagai gambaran “kehidupan” kelak di hari kiamat, berkumpul di padang Mahsyar seraya bersama-sama menunggu keputusan Allah akan nasib selanjutnya.
Keempat, jamarat, melemparkan batu di tiga tempat di Mina, masing-masing tujuh kali. Di tempat itu mereka tidak menemukan setan atau lawan yang akan mereka lempar pakai batu, hal ini mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya yang mereka lempar itu adalah nafsu setan dan kebinatangan yang terdapat dalam diri mereka masing-masing atau dengan kata lain jamarat sebagai simbol perjuangan manusia untuk membersihkan hati dengan melemparkan sifat-sifat ego yang sebelumnya menjadi teman baiknya. Kelima, kurban. Selain untuk bersedekah, menyembelih hewan kurban juga sebagai simbol perjuangan manusia mewujudkan solidaritas social-ekonomi demi kesejahteraan bersama (halaman 172).
Kelima hal tersebut di atas selayaknya memang menjadi “pakaian” para jemaah haji ketika sudah pulang ke kampung halaman masing-masing, agar mereka benar-benar seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, tidak punya dosa. Selain itu, umat Islam secara umum yang akan merayakan Hari Raya Idul Adha juga seharusnya mampu menangkap serta berusaha untuk mempraktikkan pesan-pesan yang tersirat dalam prosesi ibadah haji, walaupun mereka belum menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Peresensi adalah Saiful Fawait, mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep, Jawa Timur.
Data Buku
Judul : Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Cetakan : 1, Maret 2017
ISBN : 978-602-60244-5-9
Tebal : 225 Halaman