“Kyai Ahsin dan Oase Al-Qur’an”

(Kesan Seorang Murid terhadap Gurunya)

Oleh : Didi Junaedi

Alhamdulillah.. Pagi ini saya bisa menikmati karya terbaru guru saya, Al-Mukarrom Bapak Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad berjudul “Oase Al-Qur’an: Penyejuk Kehidupan”, yang baru saja diterbitkan oleh Penerbit Qaf, Jakarta, di awal tahun 2017 ini.

Buku yang berisi untaian hikmah, yang penulisnya menyebut Oase ini adalah kutipan ayat-ayat al-Qur’an penyejuk kehidupan disertai keterangan singkat dari penulisnya, yang merupakan seorang pakar Qira’at dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Sungguh, saya sangat beruntung sempat menyesap ilmu dari beliau secara langsung selama tiga semester berturut-turut, ketika kuliah S1 di Jurusan Tafsir Hadis IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada akhir 90-an lalu.

Kedalaman ilmu beliau tampak jelas saat menerangkan materi kuliah. Beliau selalu mendasarkan keterangannya pada referensi-referensi yang otoritatif (mu’tabar). Kekayaan literatur serta referensi inilah yang menjadikan mata kuliah yang beliau ampu begitu berisi dan berbobot.

Seingat saya, selama tiga semester itu beliau mengampu tiga mata kuliah yang berbeda, yaitu: Ilmu Qira’at, Manhaj (Metode) Tafsir, dan Bahtsul Kutub Tafsir.

Dalam setiap pertemuan, dari seluruh mata kuliah yang beliau ampu, selalu ada informasi serta ilmu baru yang beliau sampaikan. Kemampuan beliau menelaah karya-karya klasik ulama masa lalu, dan juga penguasaan beliau terhadap karya-karya kontemporer sarjana-sarjana muslim modern, menjadikan materi kuliah begitu menarik.

Beliau yang seorang hafizh (hafal Al-Qur’an 30 Juz) terlihat begitu piawai menyertakan dalil berupa ayat-ayat al-Qur’an setiap kali menjelaskan sebuah tema. Tidak sekadar menyebut ayat dan terjemahnya saja, tetapi lengkap dengan asbab al-nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut dan tafsirnya dari sejumlah mufassir.

Satu hal lagi kesan saya atas beliau, yaitu wibawa (kharisma) serta kerendahan hati (tawaduk)-nya yang tampak begitu jelas. Gaya bertutur yang tenang ketika menjelaskan materi, membuat seisi kelas hening, menyimak penuh khidmat apa yang beliau sampaikan.

Kembali ke karya terbaru beliau. Buku setebal 268 halaman, yang baru saja saya beli kemarin sore, sepulang dari kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, berisi 100 Oase Al-Qur’an yang menyejukkan kehidupan.

Seperti tertera di sampul depan buku tersebut, pembaca bisa menikmati sajian rohani ini dengan cara membaca satu hari satu oase. Meskipun pembaca bebas untuk membacanya sehari beberapa oase sekaligus pun tidak masalah.

Buku ini, kalau boleh saya katakan, layaknya renungan harian, di tengah rutinitas dan kesibukan kita menjalani hidup sehari-hari. Di tengah aktivitas yang padat, kita bisa mengambil jeda sejenak untuk merenung (tafakkur) dengan membaca satu tema yang ada di buku ini. Meski singkat, uraian setiap tema di buku ini sangat mengena dan menggugah jiwa.

Semoga kehadiran buku karya guru saya yang mulia ini benar-benar mampu menjadi oase di tengah gersang dan tandusnya padang jiwa kita… Amiiin..

Qawlan Layyinan

Dikisahkan, ada seorang kiai penceramah hebat. Suaranya lantang. Orasinya memukau jamaah. Cirinya, kalau ada penjabat yang hadir, telinganya akan merah. Itu akibat tajamnya kritik yang dilontarkan dengan kata-kata pedas di setiap ceramahnya.

Suatu ketika, setelah kiai itu selesai berceramah, seorang pejabat mendekati sang kiai. Terjadilah dialog di antara mereka.

“Pak Kiai, sampean mengenal Nabi Musa?”

“Tentu saja. Dia salah satu rasul yang dijuluki kalimullah.”

“Lebih mulia mana antara Nabi Musa dengan sampean?”

“Jelas lebih mulia Nabi Musa. Bukan hanya nabi, tapi beliau juga rasul. Bukan hanya rasul, tapi termasuk rasul ulul azmi.”

“Sampean tahu musuh Nabi Musa, Pak Kiai?”

“Ya, tahu. Fir‘aun.”

“Jelek mana saya dan Fir’aun, Pak Kiai?

“Sampean memang pejabat sangat bejat, tapi Fir’aun pasti lebih bejat lagi. Dia kejam dan angkuh, bahkan ngaku-ngaku Tuhan segala.”

“Kalau Nabi Musa lebih mulia daripada sampean dan Fir‘aun musuhnya lebih jelek daripada saya, kenapa Nabi Musa kalau menyampaikan kritik dengan qawlan layyinan—perkataan yang lembut?

Kini giliran sang kiai yang memerah mukanya. Ia ingat betul pesan Tuhan kepada Nabi Musa dan Harun dalam Al-Quran: Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, sebab dia memerintah dengan sewenang-wenang. Kemudian berkatalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan) semoga dia akan menjadi ingat atau menjadi takut [kepada Tuhan] (Thaha [20]: 43–44).

Allah berpesan agar Musa dan Harun menggunakan tutur kata yang lembut kepada Fir‘aun yang bengis itu. Diperlukan usaha persuasif agar inti komunikasi tercapai: supaya dia menerima seruan keduanya. Meski Fir‘aun bergeming dengan pendiriannya hingga tenggelam bersama pengikutnya di Laut Merah, tapi ajaran etik di balik peristiwa itu berlaku abadi: sampaikan kebenaran dengan qaulan layyinan.

Mari kita simak makna qaulan layyinan dalam kitab-kitab tafsir klasik dan modern. Qaulan layyinan adalah ungkapan yang menghindari kata-kata yang bernada kasar (Isamail Haqqi dan Al-Maraghi); perkataan yang lembut, halus, mudah, dan penuh keakraban (Ibnu Katsir), dan mendatangkan ketenangan bagi jiwa pendengarnya (Alusi).

Itulah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh—benar dan rasional tanpa merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara. Bukan unjuk kekuatan atau memaksa (Kemenag, 2012), melainkan cara yang halus, sopan, lembut namun meyakinkan (Madjid, 1994).

Di ayat lain dengan cara bijaksana, urun rembuk yang baik dan argumen yang unggul (an-Nahl [16]: 125). Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Lawanlah kejahatan itu dengan sesuatu yang lebih baik, maka orang yang di antara engkau dan dia ada permusuhan itu akan menjadi seolah-olah kawan yang sangat akrab (Fushshilat [41]: 34).

Semua itu adalah ciri-ciri orang terdidik atau terpelajar dalam berkomunikasi. Bahkan, kata Al-Quran, konsekuensi iman yang benar adalah kemampuan bertutur kata benar, sopan, dan baik: Dan mereka (kaum beriman dan beramal saleh) itu telah dibimbing ke arah tutur kata yang baik, dan telah pula dibimbing ke arah jalan Allah yang Maha Terpuji (al-Hajj [22]: 24).

Meski niat seseorang benar demi mengingatkan pendengar, sikap kasar hanya akan melahirkan antipati. Sikap emosional hanya menimbulkan kebencian. Ujungnya adalah kegersangan sosial.  Kalau secara sosial gersang, maka nilai-nilai kemanusiaan akan sulit tumbuh. Yang tumbuh adalah budaya dan karakter kekerasan. Itulah budaya jahiliah alias karakter kalangan tidak terdidik. Jahiliyyah (zaman kebodohan)—berasal dari j-h-l—meski akar kata jahl berkonotasi kebodohan, arti utamanya adalah “sikap pemarah”. Dalam teks-teks awal Islam, jahiliyyah menunjukkan agresi, arogansi, chauvinisme, dan kecenderungan kronis pada kekerasan dan balas dendam (Izutsu, 2002).

Nabi mengingatkan, “Man yuhramu al-rifqu yuhramu al-khair, Siapa yang jauh dari sikap lemah lembut ia jauh dari kebaikan.“ (HR Muslim). Tak hanya mengingatkan, beliau menunjukkan cara menghadapi sikap kasar dan mengubahnya menjadi lembut dan penuh kasih sayang [Mohammad NUH].

Mukhlishin dan Mukhlashin

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlash di antara mereka”.” (Q.S. Al-Hijr: 39-40)

Dari dialog antara Allah Swt. dengan Iblis la‘natullah ‘alaihi yang direkam oleh rangkaian ayat Al-Qur’an di atas, tergambar jelas bahwa Iblis bersumpah untuk menyesatkan seluruh umat manusia. Ia akan menjadikan kejahatan tampak indah di mata manusia. Ia akan mengelabui manusia dengan bujuk rayunya agar manusia mengikuti jalan sesatnya. Sebagian besar manusia akan mengikuti bujuk rayu Iblis tersebut, kecuali hamba-hamba Allah yang Mukhlashin. Yaitu, mereka yang sudah mencapai derajat (maqam) ikhlas yang sangat tinggi. Mereka ini tidak akan bisa diperdaya oleh godaan serta bujuk rayu Iblis. Iblis tidak akan berkutik, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang penuh ketulusan hati, keikhlasan jiwa, yang hanya mengharap ridha Allah semata atas segala amal yang dilakukannya.

Siapakah sesungguhnya Al-Mukhlashin itu? Di dalam Al-Qur’an terdapat dua istilah yang menggambarkan kondisi orang-orang yang ikhlas. Pertama, al-Mukhlishun; dan kedua, al-Mukhlashun.

Kata mukhlish dan mukhlash berasal dari akar kata yang sama, yaitu akhlashayukhlishu, berarti tulus, jernih, bersih, dan murni. Dari akar kata tersebut lahir kata mukhlish, jamaknya al-mukhlishun, berarti orang yang setulus-tulusnya mengikhlaskan diri di dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Perkataan, pikiran, dan segenap tindakannya hanya tertuju kepada Allah Swt.

Dari kata akhlasha juga lahir kata mukhlash, jamaknya al-mukhlashun, berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlishin) tetapi Allah Swt. yang proaktif untuk memberikan keikhlasan. Jika mukhlish masih sadar kalau dirinya berada pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya sedang berada dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah merupakan bagian dari habit dan kehidupan sehari-harinya.

Seorang mukhlish masih sadar akan keikhlasannya. Pada posisi ini masih riskan untuk diperdaya provokasi iblis karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. Sedangkan mukhlash, iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena langsung di-back up oleh Allah Swt. Demikian penjelasan Prof. Nasaruddin Umar tentang perbedaan makna al-Mukhlishin dan al-Mukhlashin.

Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Wajîz memberikan keterangan bahwa yang disebut al-Mukhlashin adalah hamba-hamba Allah yang mukmin yang disucikan oleh Allah dari segala noda dan dosa, serta mengikhlaskan ketaatannya hanya kepada Allah Swt.

Dari beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa al-Mukhlashin adalah orang-orang yang memiliki maqam yang tinggi di hadapan Allah, karena seluruh aktivitas hidupnya hanya ditujukan sepenuhnya kepada Allah Swt.

Orang-orang dengan predikat Mukhlashin tidak pernah merasa bangga dengan amal ibadah yang dia lakukan, meskipun banyak orang yang memberi sanjung puji kepadanya. Pun mereka tidak akan pernah merasa sedih dan berkecil hati ketika tidak ada seorang pun yang memberikan apresiasi terhadap aktivitas ibadahnya. Al-Mukhlashin hanya berharap ridha Allah. Mereka sangat menikmati ibadah yang mereka lakukan tanpa peduli dengan komentar orang-orang di sekelilingnya.

Dengan ketulusan niat yang sangat tinggi, keikhlasan jiwa yang sangat dalam, iblis tidak mampu menggoyahkan hati sang Mukhlashin.

Oleh : Didi Junaedi, penulis Berpikir Positif Agar Tuhan Selalu Menolongmu!

Shalat Jumat di Jalan

Assalamu‘alaikum wr wb,

Mengenai tempat pelaksanaan shalat Jumat, para fuqaha’ berbeda pendapat sebagai berikut:

Para fuqaha’ Malikiyyah (ulama ahli fiqih pengikut madzhab Malikiy) berpendapat, bahwa shalat Jumat hanya boleh dan sah jika dilaksanakan di masjid, karena Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakan shalat Jumat di masjid Nabawiy dan tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Beliau SAW pernah melaksanakan shalat Jumat tidak di masjid. Status riwayat ini adalah mutawaatir (aklamatif), tidak seorang pun yang menyanggahnya. Ibnu Rusyd (w. 594 H) dari kalangan madzhab Malikiy, menyatakan: ”Tidak sah pelaksanaan shalat Jumat di selain masjid”.

Tetapi jumhuur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) dalam hal ini Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa shalat Jumat tidak mutlak harus dilaksanakan di masjid. Memang lebih utama dilaksanakan di masjid, tetapi dalam keadaan dan pertimbangan tertentu, boleh dilaksanakan di luar masjid. Hal ini didasarkan pada keumuman  hadis tentang Jumatan, yang hanya meyebutkan *”secara berjamaah”* dan tidak menentukan tempatnya secara eksplisit, sebagaimana hadis: “Shalat Jumat itu wajib bagi setiap pribadi muslim secara berjamaah…” (HR Abu Dawud dari Thariq bin Syihab RA). Juga berdasar sejarah shalat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh Mus’ab bin Umair dan kaum muslimin di Madinah atas perintah Nabi SAW sebelum beliau hijrah (HR ad-Daruquthniy dari Ibnu Abbas RA).

Waktu itu di Madinah belum ada masjid, sehingga shalat Jumat pasti tidak dilaksanakan di dalam masjid.

Berikut pernyataan para fuqaha’ terkenal dalam madzhab jumhuur, antara lain:

Ibnu Qudamah (w. 620 H) fuqaha’ terkenal dari madzhab Hanbaliy menyatakan: ”Tidak disyaratkan bagi sahnya shalat Jumat itu harus di antara bangunan, melainkan boleh dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini adalah juga pendapat imam Abu Hanifah” (al-Mughniy 2/171).

Imam an-Nawawiy (w. 676 H) tokoh fuqaha’ Syafi’iyyah menyatakan: ”Para fuqaha’ madzhab Syafi’iy berpendapat, bahwa mendirikan shalat Jumat tidak disyaratkan harus di masjid, melainkan boleh di tempat terbuka asalkan tempat tersebut masih dalam wilayah desa atau kota yang bersangkutan” (al-Majmuu’ 4/501).

Zainuddin al-Iraqiy (w. 806 H) juga dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan: ”Madzhab kami berpendapat, bahwa pelaksanaan shalat Jumat tidak harus di masjid, melainkan bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan” (at-Tatsriib 4/90).

Berdasarkan paparan pendapat fuqaha’ jumhuur tersebut dapat difahami, bahwa shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, asalkan ada pertimbangan yang dapat dibenarkan secara syar’iy (ajaran Islam), antara lain: masjid yang ada di sekitar tidak mencukupi, tidak menimbulkan gangguan, dan ada kebutuhan urgen yang mengharuskan dilaksanakannya shalat Jumat di jalan.

Memang lazimnya jalan itu untuk lalu-lintas, bukan untuk shalat, bahkan duduk-duduk di jalanan pun dilarang. Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Hindari duduk-duduk di jalanan”. Para sahabat berkata: ”Kami tidak ada pilihan lain, inilah tempat kami ngobrol”. Beliau bersabda: ”Kalau begitu, berilah hak jalan”. Mereka bertanya: ”Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab: ”Menahan pandangan, tidak menyakiti/mengganggu orang, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi mungkar” (HR al-Bukhariy, Muslim dan lain-lain dari Abi Sa’id al-Khudriy RA).

Tetapi dalam kondisi kebutuhan urgen, maka shalat Jumat di jalan diperbolehkan. Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan: “Al-ḥājah tanzilu manzilataḍ ḍarūrati” (kebutuhan mendesak itu dapat menduduki posisi darurat), sedangkan keadaan darurat itu membolehkan yang mestinya tidak boleh, “Aḍ-ḍarūrātu tubīḥul maḥẓūrāt” (keadaan darurat itu dapat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang semula dilarang).

Pada masa lalu juga pernah terjadi shalat Jumat tidak di masjid, melainkan di tempat terbuka, bahkan di jalan.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Harairah RA, bahwa kaum muslimin pernah menulis surat pada khalifah Umar RA, menanyakan tentang shalat Jumat. Maka beliau RA membalas surat mereka (yang isinya): ”Lakukanlah shalat Jumat di mana saja kalian berada” (Atsar ini shahih).

Pada tahun 1453 M, dalam penaklukan kekaisaran Byzantium (Romawi Timur), sultan Muhammad al-Fatih (sultan ke 7 Kesultanan Turki Utsmaniy) pernah melaksanakan shalat Jumat di jalan menuju Konstantinopel bersama ribuan pasukannya yang membentang kira-kira sepanjang 4 km. (Sejarah Penaklukan Konstantinopel).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa terlepas dari adanya perbedaan pendapat, shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, walau jika dilaksanakan di masjid tentu lebih utama.

Wallaahu a’lam

Wassalamu’alaikum wr wb,

ttd.

Ahmad Zahro (Ketum PP IPIM)

Masnawi, Biblioterapi, dan Kekuatan Cerita

Judul buku: Terapi Masnawi
Penulis: Prof. Dr. Nevzat Tarhan
Penerjemah: Ridho Assidicky, Ummahati Solichin, Bernando J Sujibto
Penerbit: Qaf Publishing, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 316 halaman
ISBN: 978-602-73761-4-4

Pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi (1207-1274) telah dikenal luas tidak hanya di kalangan umat Islam. Salah satu mahakaryanya, yakni Masnawi, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia dan dikaji oleh banyak kalangan, termasuk nonmuslim.

Buku ini mencoba mengangkat Masnawi dalam konteks yang bersifat praktis, yakni terapi. Nevzat Tarhan, penulisnya, adalah seorang profesor di bidang psikiatri dan neuropsikologi dari Turki. Dalam buku ini, Nevzat memilih kisah-kisah dalam Masnawi untuk dijadikan bahan utama dari apa yang kemudian disebutnya biblioterapi.

Dalam bidang psikoterapi, biblioterapi terbilang masih relatif baru. Biblioterapi adalah penggunaan teks-teks khusus untuk mengatasi penyakit dan gangguan jiwa dengan pendampingan khusus dari seorang spesialis. Menurut Nevzat, melalui kisah dan syair-syair dalam karyanya ini, Rumi memberikan pelajaran penting tentang bagaimana mengendalikan energi liar dalam diri kita.

Bagaimana sebuah kisah terpilih dapat menjadi terapi? Bagaimana biblioterapi bekerja? Menurut Nevzat, dengan memperdengarkan cerita yang pas, pendengar diharapkan dapat merasakan dan mengalami proses transformasi mental dalam dirinya. Pada tahap pertama, cerita pilihan itu berfungsi sebagai cermin. Artinya si pendengar menemukan keadaan mental dirinya melalui kisah yang dituturkan.

Selanjutnya, kisah-kisah itu memantik titik-titik refleksi si pendengar. Nevzat menjelaskan bahwa ada kekuatan simbol dan metafor dalam kisah-kisah Masnawi sehingga pendengar yang menyimak kisah yang tepat akan didorong untuk menemukan sudut pandang yang baru terkait dengan kondisi psikologis yang dihadapinya.

Selain itu, dalam biblioterapi, masalah berusaha dipecahkan dengan cara membicarakannya melalui titik tolak kisah tertentu yang dirasa pas. Perspektif baru dan inspirasi dari kisah tersebut diharapkan dapat melemahkan penyakit mental yang dimiliki seseorang yang sedang menjalani proses terapi.

Bagian utama buku ini memuat 32 pola pikir keliru yang dikategorikan sebagai penyakit mental yang biasa dihadapi manusia. Untuk kepentingan terapi, Nevzat memulai dengan mengangkat satu judul tentang pola pikir tertentu yang keliru. Setelah itu dia mengutip satu kisah dari Masnawi dan kemudian memberikan uraian dalam kerangka terapi atas sikap mental yang keliru tersebut. Setiap judul kemudian ditutup dengan kutipan syair dari Masnawi yang tampaknya dimaksudkan sebagai penguat sekaligus merangkum proses terapi.

Di antara contoh pola pikir yang keliru ada yang berupa pikiran untuk memandang diri sendiri sebagai sosok yang istimewa. Nevzat mengutip kisah seekor lalat yang berlagak seolah dirinya itu burung Phoenix. Saat terhanyut di tumpukan sampah yang digenangi kencing keledai, si lalat malah merasa seperti seorang kapten yang tengah menakhodai kapal istimewa.

Bagi Nevzat, kisah ini merefleksikan sikap arogan yang dapat menjerumuskan jiwa. Menganggap diri sebagai sosok istimewa dan penting adalah sebentuk sikap sombong. Menurut Nevzat, orang sombong sebenarnya memiliki penyakit mental berupa sikap tak percaya diri. Dia meninggikan dirinya sendiri untuk mengatasi ketakpercayaan dirinya itu. Sama halnya dengan orang yang bersiul saat melintasi kuburan demi menghilangkan rasa takutnya.

Melalui kisah Rumi, Nevzat menyingkapkan bahwa orang sombong adalah orang yang tertipu. Sombong membutakan diri sehingga seseorang justru semakin terperosok pada sifat-sifat yang buruk dan menggerogoti dirinya.

Ada juga pola pikir yang menganggap semua orang yang mengkritik kita hanya semata bermaksud merendahkan kita. Nevzat mengangkat kisah 4 orang yang tengah shalat namun akhirnya semuanya batal karena saling menanggapi dan mengkritik rekannya yang batal lantaran berbicara.

Di sini Nevzat mengingatkan kecenderungan dasar manusia yang bersifat reaktif saat menerima kritik. Sebaliknya, manusia juga cenderung keburu mengomentari orang lain saat menemukan kesalahan dan lupa akan kesalahan serupa yang dimilikinya.

Menerima kritik harus dengan jernih sehingga kita bisa membedakan antara kritik yang dibuat secara tulus dan kritik yang justru memang berangkat dari niat buruk. Selain itu, menyampaikan kritik jangan sampai terjebak pada sikap menggeneralisasi. Kritik idealnya harus bisa diterima seseorang layaknya sebagai hadiah yang indah.

Selain unsur terapi, pada bagian terakhir buku ini Nevzat menguraikan 10 langkah untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Metodenya juga sama, yakni memanfaatkan kisah-kisah terpilih dari Masnawi. Sepuluh langkah itu dimulai dari mengenali diri sendiri, berempati dan memahami orang lain, menjalin komunikasi dengan baik, dan seterusnya hingga langkah kesepuluh yakni menjadi penengah.

Dalam konteks yang lebih luas, hal paling menarik dari upaya Nevzat untuk memperkenalkan biblioterapi adalah potensi besar dari kisah-kisah tertentu untuk memberi efek perubahan mental pada diri seseorang. Mendidik, membentuk karakter, atau mengobati penyakit mental akan cukup ampuh jika dilakukan dengan pendekatan cerita. Kisah yang disampaikan dalam rangka pendidikan atau terapi tidak terkesan menggurui sehingga lebih mudah diserap.

Tentu saja kita menyadari bahwa Masnawi adalah teks yang istimewa. Menurut Seyed G. Safavi, seorang pengkaji Rumi, teks pramodern seperti Masnawi ditulis dengan sebuah upaya besar dan serius. Ia bukan sekadar buku seperti di era industri modern saat ini yang isinya bisa mudah kedaluwarsa. Bahkan pengkaji Rumi yang lain, Richter, menunjukkan bahwa cara Masnawi disusun mengikuti paradigma al-Qur’an dalam menggabungkan kisah, perumpamaan, pesan etik dan filsafat didaktik.

Meski metodologi pemilihan kisah-kisah Masnawi dan penyusunan aspek terapinya tidak dijelaskan dengan cukup teperinci, kajian Nevzat dalam buku ini mendorong kita untuk melihat lebih jauh potensi kisah-kisah terpilih untuk dimanfaatkan secara lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak potensi kisah, cerita, dan semacamnya baik yang ditulis oleh sastrawan, tokoh agama, atau khazanah lokal, yang mungkin bisa juga ditempatkan dalam kerangka pendidikan karakter dan terapi.

Buku yang diterjemahkan dari bahasa Turki ini juga dapat dilihat sebagai pengembangan dari bentuk pengobatan ala sufi yang bertolak dari teks—sebuah kajian yang masih cukup jarang dalam kajian tasawuf di Indonesia.

M Mushthafa
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juni 2016.

Uswatun Hasanah

Waktu itu Rasulullah saw. dan para sahabat menggali parit di sebelah utara kota Madinah. Umat Islam memutuskan tak keluar dari kota dan membuat benteng pertahanan dalam menghadapi kaum musyrik Mekah yang berkoalisi dengan Yahudi dan Nasrani Madinah. Karena itulah perang tersebut kelak dikenal dengan Perang Parit atau Khandaq. Parit yang digali itu cukup panjang, lebar, dan dalam. Perbekalan yang tersedia sangat menipis sehingga para sahabat terpaksa mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan rasa lapar.

Beberapa sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan keadaan mereka yang kelaparan, sambil memperlihatkan perut mereka yang diganjal batu. Rasulullah pun membukakan bagian perutnya, dan tampaklah dua buah batu mengganjal perut beliau. Pada detik-detik itulah kemudian turun ayat yang sangat akrab di telinga kita:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mendamba Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” [al-Ahzab: 21]

Kalau perut para sahabat hanya diganjal dengan satu buah batu, Rasulullah malah mengganjal perutnya dengan dua buah batu. Rasulullah lebih merasakan lapar daripada mereka. Itulah salah satu uswatun hasanah tentang empati dan solidaritas.

Uswah (أُسْوَةٌ) berasal dari kata asâ, ya’sû, uswa’an. Artinya mengobati, menghibur, atau memperbaiki. Maknanya kemudian berkembang menjadi pengobat bagi orang yang dirundung kesusahan atau kesedihan (mâ yu‘tazî bihî wamâ ya‘tasî bihî al-hazîn). Kemudian bergeser menjadi teladan atau sesuatu yang dikuti (قدوة). Pergeseran makna ini bisa dimaklumi, karena apa yang menjadi teladan biasanya secara psikologis dapat memberi kepuasan dan hiburan bagi yang mengikutinya sehingga cenderung ditiru atau diikuti (Ensiklopedia Al-Quran: 2002).

Syekh Raghib al-Ashfahani juga memaknai uswah sebagai qudwah (قدوة), yaitu kepribadian seseorang yang menarik untuk diikuti orang lain, entah baik atau buruk, entah menyenangkan atau membahayakan.

Hasanah bermakna “baik”. Namun, dalam bahasa Arab, kata baik banyak sebutannya antara lain: khair, ma‘ruf, birr, shalih, dan sebagainya. Maka, hasan/hasanah/husnâ lebih tepat diartikan indah, mempesona, estetis. Ia kombinasi antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Jadi, uswatun hasanah adalah contoh yang benar, baik, dan indah. Karena dalam kehidupan tidak hanya butuh kebenaran, tapi juga butuh kebaikan, juga butuh keindahan sehingga tercipta kesempurnaan hidup.[Q]

Bagaimana Hukum Jual Beli Online?

Sahabat Qaf atau Qafren yang budiman, masalah jual beli via online (internet) ini benar-benar merupakan masalah fiqih kontemporer yang belum pernah dibahas dalam kitab-kitab fiqih klasik. Oleh karena itu, dalam paparan ini sedapat mungkin saya akan berusaha mengaitkannya dengan item-item jual beli yang ada di kitab-kitab fiqih, terkait dengan ketentuan pokok atau lazim disebut rukun dan syarat jual beli.

Ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual beli, yaitu:

(1). Menurut mazhab Hanafi, rukun jual beli itu hanya satu, yaitu akad saling rela antara mereka (‘an taradhin) yang terwujud dalam ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Selain akad, mazhab Hanafi menyebutnya sebagai syarat.

(2). Sedang menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama fiqih), rukun jual beli itu adalah: a. Penjual dan pembeli. b. Ijab dan qabul. c. Ada barang yang dibeli. d. Ada nilai tukar (harga).

Adapun syarat jual beli yang terpokok adalah: orang yang berakad berakal sehat, barang yang diperjual belikan ada manfaatnya, barang yang diperjual belikan ada pemiliknya, dalam transaksi jual beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan.

Nah, berdasarkan paparan di atas, dapat dibawa ke permasalahan pokok kali ini, yaitu jual beli melalui online (internet) yang sebenarnya juga termasuk jual beli via telepon, sms dan alat telekomunikasi lainnya, maka marka yang terpenting adalah: Ada barang yang diperjual belikan, halal dan jelas pemiliknya, sebagaimana hadis Nabi (yang maknanya): ”Tidak sah jual beli kecuali sesuatu yang dimiliki seseorang” (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Ada harga wajar yang disepakati kedua belah pihak (penjual dan pembeli), Tidak ada unsur manipulasi atau penipuan dalam transaksi (HR. al-Bukhari dan Muslim) Prosedur transaksinya benar, diketahui dan saling rela antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli), sebagaimana makna firman Allah Swt.: “… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling rela di antara kamu…” (an-Nisa’ ayat 29).

Jika empat marka tersebut terpenuhi, maka sebenarnya jual-beli dengan cara apa pun tidak ada masalah, tetap sah dan diperbolehkan. Apalagi jika suatu jenis transaksi itu sudah menjadi kebiasaan, walau menurut orang lain aneh, maka secara fiqih tetap sah dan boleh. Dapat diambil contoh:

Di desa-desa sudah biasa orang yang ke warung itu mengambil dan makan jajan sesuai kemauannya. Baru kemudian ketika akan membayar, si pembeli memberitahu pemilik warung bahwa dia mengambil ini-itu sejumlah sekian. Jadi, andaikata dia berbohong maka pemilik warung tidak akan tahu. Keadaan demikian berlangsung sejak dulu sampai sekarang dan tidak diketahui ada ulama yang keberatan.

Di sebagian suku Dayak ada kebiasaan menjual hasil panenan dengan cara menaruhnya di pinggir jalan tanpa ditunggui pemiliknya. Jika ada orang yang berminat maka dia cukup menaruh barang yang lain miliknya sebagai barter (sekarang sudah ada yang pakai uang) dan mengambil barang yang diminati tersebut sepantasnya. Ini benar-benar transaksi atas dasar “trust” (kejujuran) yang luar biasa. Sampai sekarang juga belum diketahui ada ulama yang keberatan dengan model transaksi demikian.

Malah menurut saya andai transaksi jual beli model ini dibudayakan maka akan mendidik masyarakat untuk bermental dan berlaku jujur. Agaknya “Warung Kejujuran” versi KPK terinspirasi dari transaksi jual beli model ini, walau ternyata warung ini merugi terus: dan ini mengisyaratkan bahwa kejujuran masyarakat kita belum teruji.

Dalam perspektif Ushul Fiqih, sepanjang hal-hal itu terkait dengan muamalah ijtima’iyyah (transaksi sosial kemasyarakatan) maka dapat disandarkan pada kaidah-kaidah berikut: Alâdah muhakkamah (tepatnya al-urf muhkam, sebab ’urf itu mesti kebiasaan yang baik, sedang ‘âdah itu bisa berupa kebiasaan yang baik tapi bisa pula kebiasaan yang buruk), yakni kebiasaan yang baik itu dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan hukum.

Al-Ashlu fil asy-yâ’ al-ibâhah hattâ yadullad dalîlu ‘alat tahrîm, yakni pada dasarnya segala sesuatu itu hukum-nya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Berpijak dari landasan kaidah fiqhiyyah tersebut, maka jual beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah, kecuali jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuan dan sejenisnya, maka secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, yaitu haram. Tetapi kasus tertentu menurut saya tidak dapat dijadikan menjeneralisir sesuatu yang secara normal positif, boleh dan halal. Oleh karena itu, jika ada masalah terkait ketaksesuaian barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, maka berlaku hukum transaksi pada umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah terjalin. Inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab batalnya transaksi jual beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual beli, baik online atau bukan, karena adanya/terjadinya manipulasi atau penipuan. Wallâhu a’lam.

Wassalam,

Prof. Dr. K.H. Ahmad Zahro, M.A.

Penulis buku Fiqih Kontemporer