“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlash di antara mereka”.” (Q.S. Al-Hijr: 39-40)
Dari dialog antara Allah Swt. dengan Iblis la‘natullah ‘alaihi yang direkam oleh rangkaian ayat Al-Qur’an di atas, tergambar jelas bahwa Iblis bersumpah untuk menyesatkan seluruh umat manusia. Ia akan menjadikan kejahatan tampak indah di mata manusia. Ia akan mengelabui manusia dengan bujuk rayunya agar manusia mengikuti jalan sesatnya. Sebagian besar manusia akan mengikuti bujuk rayu Iblis tersebut, kecuali hamba-hamba Allah yang Mukhlashin. Yaitu, mereka yang sudah mencapai derajat (maqam) ikhlas yang sangat tinggi. Mereka ini tidak akan bisa diperdaya oleh godaan serta bujuk rayu Iblis. Iblis tidak akan berkutik, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang penuh ketulusan hati, keikhlasan jiwa, yang hanya mengharap ridha Allah semata atas segala amal yang dilakukannya.
Siapakah sesungguhnya Al-Mukhlashin itu? Di dalam Al-Qur’an terdapat dua istilah yang menggambarkan kondisi orang-orang yang ikhlas. Pertama, al-Mukhlishun; dan kedua, al-Mukhlashun.
Kata mukhlish dan mukhlash berasal dari akar kata yang sama, yaitu akhlasha–yukhlishu, berarti tulus, jernih, bersih, dan murni. Dari akar kata tersebut lahir kata mukhlish, jamaknya al-mukhlishun, berarti orang yang setulus-tulusnya mengikhlaskan diri di dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Perkataan, pikiran, dan segenap tindakannya hanya tertuju kepada Allah Swt.
Dari kata akhlasha juga lahir kata mukhlash, jamaknya al-mukhlashun, berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlishin) tetapi Allah Swt. yang proaktif untuk memberikan keikhlasan. Jika mukhlish masih sadar kalau dirinya berada pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya sedang berada dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah merupakan bagian dari habit dan kehidupan sehari-harinya.
Seorang mukhlish masih sadar akan keikhlasannya. Pada posisi ini masih riskan untuk diperdaya provokasi iblis karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. Sedangkan mukhlash, iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena langsung di-back up oleh Allah Swt. Demikian penjelasan Prof. Nasaruddin Umar tentang perbedaan makna al-Mukhlishin dan al-Mukhlashin.
Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Wajîz memberikan keterangan bahwa yang disebut al-Mukhlashin adalah hamba-hamba Allah yang mukmin yang disucikan oleh Allah dari segala noda dan dosa, serta mengikhlaskan ketaatannya hanya kepada Allah Swt.
Dari beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa al-Mukhlashin adalah orang-orang yang memiliki maqam yang tinggi di hadapan Allah, karena seluruh aktivitas hidupnya hanya ditujukan sepenuhnya kepada Allah Swt.
Orang-orang dengan predikat Mukhlashin tidak pernah merasa bangga dengan amal ibadah yang dia lakukan, meskipun banyak orang yang memberi sanjung puji kepadanya. Pun mereka tidak akan pernah merasa sedih dan berkecil hati ketika tidak ada seorang pun yang memberikan apresiasi terhadap aktivitas ibadahnya. Al-Mukhlashin hanya berharap ridha Allah. Mereka sangat menikmati ibadah yang mereka lakukan tanpa peduli dengan komentar orang-orang di sekelilingnya.
Dengan ketulusan niat yang sangat tinggi, keikhlasan jiwa yang sangat dalam, iblis tidak mampu menggoyahkan hati sang Mukhlashin.
Oleh : Didi Junaedi, penulis Berpikir Positif Agar Tuhan Selalu Menolongmu!