‘Ibrah dan I‘tibâr

Tak satu pun dari peristiwa yang mengitari kita terlepas dari i‘tibâr. I‘tibâr berasal dari kata ‘ibr atau ‘ibrah, yang bermakna “jembatan penyeberangan”. Jadi, i‘tibâr bermakna “menjadikan sesuatu sebagai penyeberangan”. Jika peristiwa-peristiwa yang kita hadapi disebut sebagai i‘tibâr, maka peristiwa itu merupakan media yang menyampaikan kita kepada suatu pengetahuan, sehingga kita paham terhadap makna yang ada di balik peristiwa itu.

Kita sering menganggap sesuatu itu buruk, padahal dia tak lebih hanya sebagai i‘tibâr bagi kita agar kita memahami apa yang ada di balik itu. Misalnya, rasa sakit yang kita rasakan di kepala. Rasa sakit itu adalah i‘tibâr, karena dia adalah sebagai media yang menyampaikan kepada kita bahwa telah terjadi suatu kelainan pada kepala kita, sehingga kita berusaha untuk mengobatinya supaya sembuh. Laksana jarum-jarum petunjuk pada mobil yang berfungsi memberitahukan kepada pengemudi volume bahan bakar, oli, air, dan sebagainya.

Jadi, segala peristiwa yang mengitari kita merupakan isyarat bahwa ada suatu kelainan pada diri kita. Benarlah apa yang dikatakan oleh Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabî, sufi abad ke-7 H, bahwa manusia adalah miniatur jagat besar (makrokosmos) ini. Segala kualitas yang ada pada alam raya terdapat pula pada manusia. Oleh sebab itu, jika terdapat suatu kelainan pada diri manusia, dia akan cepat-cepat tahu melalui isyarat dari alam raya. Orang yang paling sukses adalah orang yang paling mengerti tentang isyarat itu. Akan tetapi, isyarat itu hanya dipahami oleh orang yang memiliki ketajaman mata hati dan ketajaman nalar.

Segala ibadah yang kita lakukan bertujuan untuk menjadikan kita orang bertakwa. Tentang puasa misalnya, Allah menegaskan:

Hai orang-orang yang beriman, difardhukan atas kamu melaksanakan puasa sebagaimana difardhukan atas orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa (al-Baqarah [2]: 183).

Dengan ketakwaan, kita akan mendapatkan kecerahan mata batin kita. Lalu, dengan mata hati yang tercerahkan itu kita mampu menjadikan segala sesuatu yang mengitari kita sebagai i‘tibâr, dapat membedakan yang benar dari yang batil dan yang baik dari yang buruk.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberimu furqân dan menghapus segala kesalahanmu (al-Baqarah [2]: 183).

Yang dimaksud dengan furqân dalam ayat di atas—menurut ahli tafsir, al-Thabarî—ialah ketajaman dan kecerahan batin, sehingga seseorang mampu melihat yang benar itu benar dan yang salah itu salah, yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk.

Tanpa ketajaman dan kecerahan batin, kita tidak pernah dapat memetik i‘tibâr dari apa yang kita alami. Dalam dunia iptek yang serba canggih dewasa ini, kita sering berbangga dengan penemuan-penemuan mutakhir, kita berbangga dengan akal atau intelek. Memang akal memiliki kemampuan untuk menalar, berargumentasi, dan menarik kesimpulan. Akan tetapi, daya akal tidak dapat bekerja dengan baik tanpa kejernihan kalbu. Kita lihat sekarang, negeri yang kita cintai ini memiliki jutaan sarjana dan pemikir dalam berbagai bidang pengetahuan, tetapi tak banyak yang dapat memberikan solusi atas krisis yang sedang kita hadapi. Yang ramai adalah saling menyalahkan dan saling menjatuhkan. Ini tidak lain adalah karena kegelapan mata hati kita.

[Prof. Yunasril Ali]

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *